Menanti Penggenapan Ilahi Sebagaimana Dikabarkan Dalam Mimpi

Menanti Penggenapan Ilahi Sebagaimana Dikabarkan Dalam Mimpi

Masroor Library – Bagi seorang Muslim, mimpi bukanlah sekedar kembang tidur. Mimpi bagi umat Islam memiliki arti ruhani dan terkait dengan keruhanian. Tentu saja, mimpi yang dilandasi dengan amalan syar’i, bukan hanya tidur a la hewani. Amalan syar’i yang dicontohkan oleh RasuluLlah saw adalah berdoa sebelum tidur, membaca Al-Mu’awwidzatayn dan meniupkannya ke telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh bagian tubuh.

Namun, apabila tidak mengamalkan hal seperti itu, maka mimpi yang diperoleh pun tidak akan memiliki makna. Kitab Suci Al-Qur’an Surah Yusuf 45 dan Al-Anbiya 6 menyebutnya dengan “mimpi yang kacau-balau” alias adghaatsu ahlaam. Mimpi semacam ini hanya berlalu begitu saja dan biasanya tidak membekas dalam ingatan. Inilah yang sering disebut “kembang tidur”.

Beberapa tahun lalu, lima atau enam tahun lewat, penulis bermimpi dimutasi ke suatu daerah yang masih alami. Mimpi ini –sebagaimana mimpi-mimpi lainnya– penulis sampaikan ke beberapa orang dan juga kepada mahasiswa Jamiah saat ada jam selingan. Ini sebagai tahdits-e-ni’mat alias untuk mengenang karunia Allah.

Dalam mimpi itu digambarkan suatu pelosok pedalaman, dalam bayangan penulis saat itu, mirip Papua. Dua masjid terdapat dalam satu kompleks, satu masih baru dan lainnya masjid lama. Begitu juga dengan madrasahnya, ada dua juga. Di belakang kompleks itu ada sebuah sungai besar dan rumpun bambu.

Sebelumnya, penulis juga bermimpi ditugaskan di suatu pulau yang banyak pohon kelapa. Rumah-rumahnya terbuat dari pelepah pohon kelapa dan daun rumbia. Perawakan mereka (mohon maaf) kecil, pendek dengan kulit hitam dan rambut keriting. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris apalagi Indonesia. Ketika ditanyakan dalam bahasa Inggris, “Where is located Indonesia?” Mereka hanya menunjukkan ke arah laut yang terlihat gelap dan jauh. Jauh sekali.

Tiga tahun yang lalu (2017), tepatnya beberapa bulan sebelum ditugaskan di Jemaat Kebayoran, Daerah DKI Jakarta, penulis mendapatkan mimpi yang sangat berkesan. Mimpi itu terdiri dari dua bagian/rangkaian. Bagian pertama adalah terkait perjalanan ke suatu daerah, bagian lainnya kunjungan ke suatu pulau.

Dalam bagian pertama diperlihatkan, bahwa penulis saat itu sedang menumpang pesawat dalam suatu perjalanan jauh. Pesawat itu landing di suatu bandara di dekat pantai. Setelah itu penulis bergegas menuju ke sebuah kapal laut yang besar. Dengan kapal laut itulah penulis kemudian menuju suatu tujuan. Mimpi terhenti sampai disini.

Tidak berapa lama, bagian kedua mimpi tersebut diperlihatkan kembali. Dalam mimpi itu, penulis seolah ada di suatu pulau yang bernuansa seperti Bali, Pulau Dewata. Ada yang mengantar penulis dan mendampingi ke suatu rumah dengan halamannya yang luas. Rumah itu khas rumah-rumah di Bali, di halamannya terdapat situs peribadatan mirip candi kecil.

Di samping rumah itu juga terdapat satu jalan kecil yang menghubungkan ke kampung sebelah. Pemilik rumah itu ternyata seorang pecalang alias petugas keamanan adat Bali, dengan bajunya yang khas. Ia mengenakan sarung khas Bali berwarna hitam-putih kotak-kotak. Pengantar memperkenalkan penulis, yang oleh tuan rumah lalu dipersilakan masuk dan duduk.

Setelah perbincangan dengan tuan rumah, barulah penulis tahu, bahwa dia adalah mubayyin baru. Belum lama ia bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Istri dan anak-anaknya hingga saat itu belum ikut bai’at. Ia juga bercerita, mengapa tempat sesaji itu masih ada meski sudah masuk Islam.

Setelah hampir satu-dua jam berbincang, ada seorang perempuan yang minta diantarkan ke kampung sebelah. Akhirnya tuan rumah ijin akan mengantarkan perempuan tersebut lewat jalan samping rumah. Penulis dan yang mendampingi diminta menunggu di rumah. Mimpi itu terhenti sampai sini.

Pada awalnya, penulis merasa akan ditempatkan di Manado atau Bali. Namun setelah menerima SK Mutasi, ternyata ditugaskan di Kebayoran. Setelah ditugaskan di Kebayoran, penulis mencoba mencari penggenapan. Bentuk kapal laut yang besar, memang telihat hampir sama dengan bangunan Masjid Al-Hidayah. Apalagi kemudian penulis mendapat giliran khotbah Jumat di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu tiap Jumat keempat. Akhirnya penulis terbiasa naik kapal laut, baik yang tradisional maupun yang modern.

Tinggal dengan orang Bali itu, akhirnya penulis pun mendapat jawabannya. Ternyata di sekitar Kebayoran Lama ada banyak komunitas Hindu Bali. Bahkan di perbatasan Karang Tengah dan Cinere yang dekat Pondok Labu, ada satu pura cukup besar. Sementara itu adalah tafsir mimpi tersebut.

Sekitar tiga minggu sebelum menerima surat keputusan (SK) Mutasi Mubaligin Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2018, penulis juga bermimpi kembali. Dalam mimpi itu, penulis berada di suatu daerah yang (mohon maaf) orang-orangnya kebanyakan berperawakan kecil, hitam dan berambut keriting. Mereka juga tidak mengerti bahasa Inggris, bahasa Indonesia yang dipergunakan juga agak aneh.

Usai rapat koordinasi Mubaligin dengan Mubalig Incharge dan staf dalam kesempatan Jalsah Salanah Gabungan Daerah DKI Jakarta, Banten 1 & 2 dan Jawa Barat 1, Jumat (20/7/2018) malam, penulis mendapat isyarat bahwa akan dimutasi dengan naik pesawat alias terbang. Isyarat tangan membentuk busur melengkung menandakan lintasan terbang pesawat saat take off dan landing.

Isyarat lainnya adalah, bahwa dalam mutasi kali ini yang dari DKI Jakarta adalah yang paling jauh “terbang”-nya. Bahkan, ada isyarat lain lagi, bahwa dari Markaz akan ada yang dimutasi, termasuk dari Jamiah dengan inisial huruf awal “R”. Tidak banyak orang yang bernama awalan huruf “R”. Puzzle yang mengasikkan!

Teka-teki itu kemudian terjawab sudah setelah Sabtu (28/7) malam usai shalat Isya di masjid, penulis mendapat telpon dari staf Mubalig Incharge yang mengabarkan bahwa penulis akan mendapat tempat tugas baru di daerah “Beta”. “Mubarak untuk tugas barunya! Itu sesuai mimpi, ‘kan? Besok (Minggu, 29/7/2018) SK-nya akan dikirimkan,” kata Mln. Basuki Ahmad.

Namun, selama 20 bulan ditugaskan di Maluku dan berkeliling tempat, apa yang diperlihatkan dalam mimpi itu belum juga tergenapi. Bagian kecilnya mungkin telah tergenapi, tetapi orang-orang asli pribumi dengan karakteristik seperti tersebut di atas belum dijumpai. Suku-suku pedalaman di Pulau Buru telah didatangi: Danau Rana dan Perkampungan Suku di Walafau. Begitu juga yang di pedalaman Pulau Seram, tepatnya di Nayaba dan Balakeu juga Suku Nuaulu. Semua itu belum meyakinkan akan penggenapannya.

Tiga minggu sebelum menerima informasi terkait mutasi dari Ambon (Maluku) ke Manokwari (Papua Barat), penulis juga sudah bermimpi bertemu kembali dengan sosok-sosok dalam mimpi beberapa tahun yang lalu. Dalam mimpi itu, penulis merasa tidak asing lagi. Hampir tiga minggu lamanya mimpi-mimpi itu datang silih berganti.

Semuanya bernuansa Papua: di bandara, di kendaraan, di perjalanan, bercengkerama dengan anak-anak Papua. Dan terakhir, dalam mimpi itu diperlihatkan suatu pemandangan bai’at massal dimana penulis duduk di bagian depan, didampingi seorang asli Papua yang bertugas menerjemahkan syarat-syarat baiat. Puluhan lelaki dan perempuan dari satu kampung, duduk berbaris membentuk shaf dan banjar ke belakang.

Oleh sebab itu ketika Pusat menyampaikan informasi bahwa akan dimutasi ke Manokwari, Papua Barat, hanya satu kata yang terucap. Penulis sampaikan kepada yang memberi kabar, “AlhamduliLlah, semoga sesuai dengan mimpi!” Semoga penulis dapat menjadi saluran berkat dari rencana besar Tuhan untuk Jemaat di Papua Barat.

InsyaAllah wa alhamduliLlah ‘ala dzalika!

—o0o—

Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan*)
Mubalig Daerah Papua Barat

*) Penulis adalah alumnus Jamiah Ahmadiyah Indonesia (JAMAI) Bogor Angkatan IX (1998-2003). Pernah ditugaskan sebagai Mubalig Lokal di Jemaat Lokal Salatiga (048), Jawa Tengah (Agustus 2003-Agustus 2005), lalu sebagai Dosen Ilmu Perbandingan Agama di JAMAI Bogor (September 2005-Juli 2018), Mubalig Lokal JAI Kebayoran, Jakarta Selatan (Juli 2017-Juli 2018) serta sebagai Mubalig Daerah Maluku berdomisili di Ambon (25 Agustus 2018-14 April 2020).

Pendidikan formal dan non-formal adalah –atas restu Hadhrat Khalifatul Masih V atba via Amir Nasional dan Mubalig Incharge/Raisuttablig Jemaat Ahmadiyah Indonesia– atas biaya sendiri diijinkan mengambil jenjang S-1 hingga S-3 konsentrasi Teologia dan Bahasa-bahasa Kuno (Ibrani & Yunani) serta Biblika dan Perjanjian Lama dari beberapa lembaga kursus dan sekolah tinggi teologia, baik di dalam dan luar negeri: UKSW Salatiga, PPWG STFT Jakarta, STT Cipanas Cianjur, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta (overseas study) di The Hebrew University of Jerusalem, Israel.

Atas restu Hudhur V atba, pernah mengikuti advance study/refresher course Mubalig di Rabwah (Pakistan) dan Qadian (India) untuk memperdalam kitab-kitab Islam (Al-Qur’an & Hadits) dan karya Hadhrat Masih Mau’ud as, tata kelola organisasi, keuangan dan nizam Jemaat dari tokoh-tokoh Jemaat di Rabwah dan Qadian. Di antaranya dari Wakilul A’la Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah (orang nomor dua setelah Hudhur) di India dan Pakistan, Sadr Anjuman Ahmadiyah Bharat (India) dan Pakistan dan tokoh-tokoh teras Jemaat lainnya.[]

No Responses

Tinggalkan Balasan