Lembaga Khilafat | Sebuah Rahmat Agung yang Mengandung Peringatan

Lembaga Khilafat | Sebuah Rahmat Agung yang Mengandung Peringatan

“Berpegang Teguhlah kepada Tali Allah dan janganlah bercera berai” (Al-Imran: 135)

Khalifah ialah yang menggantikan dia yang pergi dan mengisi tugasnya (Imam Ibnu Athir)

“Selama aku berkata dan berbuat wajar, baik dan benar, bantulah aku tetapi bila aku berbuat sebaliknya, sampaikanlah kepadaku dan luruskanlah daku” (Hz. Abu Bakar RA)

Bulan Mei 1908 tepatnya pada tanggal 26 Allah Taala telah memanggil utusan-Nya, Hazrat Masih Mauud, Imam Mahdi AS. kehadirat-Nya. Kewafatan Imam Mahdi tentu saja membawa ketakutan, kecemasan kepada seluruh anggota jemaat saat itu terhadap masa depan Ahmadiyah. Sehari kemudian, tanggal 27 Mei 1908, Allah Taala telah memenuhi janji-Nya dengan menegakkan lembaga Khalifah. Hazrat Alhaj Hakim Nuruddin terpilih menjadi Amirul Mukminin, Khalifatul Masih I. Inilah awal dari tonggak sejarah Kekhalifahan Masih. Berkat kekhalifahan ini merupakan bagian dari penggenapan ‘kudrat kedua’ sebagaimana yang ditulis oleh Masih Mauud AS sendiri dalam bukunya Alwasiat.

Dalam Alquran (An-Nur:56), Allah Taala telah memberikan jaminan bagi keberadaan lembaga khilafat, namun satu syarat yang harus dipenuhi untuk menjamin keberadaan lembaga khilafat yaitu adanya orang-orang beriman dan beramal saleh.

Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas hubungan antara keberadaan orang beriman dan lembaga khilafat.

Tidak ada Keimanan, Maka Tidak ada Khilafat

Jika keimanan itu tidak ada, maka sistem kekhilafatan akan runtuh. Tanpa adanya keimanan, maka tidak ada keterlibatan Allah didalamnya dan semuanya diserahkan kepada mereka untuk memilih siapa saja yang mereka sukai melaui suara mayoritas. Sehingga, seseorang yang mereka pilih bukan merupakan pilihan Allah Ta’ala.

Seseorang yang dipilih Allah Ta’ala harus bekerja di bawah sistem yang telah dibuat oleh Allah Ta’ala. Jika hanya orang-orang beriman yang memberikan suara, dan orang yang paling beriman dipilih untuk menjadi pemimpin di antara mereka, hanya dalam kasus seperti inilah Allah Taala melibatkan Diri-Nya untuk menentukan pilihan-Nya. Manusia pilihan Allah Ta’ala inilah yang kemudian menyandang gelar Amirul Mukminin atau pemimpin bagi orang mukmin.

Sekedar perbandingan pada pemilihan Bush dan Mulroney menjadi seorang presiden proses yang dilewati tidak seperti pemilihan khalifah, oleh karena mereka tidak dipilih oleh Allah Ta’ala. Mungkin benar, mereka telah dipilih secara demokratis akan tetapi bukan dipilih oleh Tuhan. Kenyataannya, Hitler telah dipilih secara demokratis. Dia memegang kekuasaan atas pemilihan yang demokratis. Pemilihan tersebut tidak dilakukan dengan cara yang curang dan licik seperti yang biasa terjadi di negara-negara dunia ketiga.
Bisa saja terjadi sebuah pemilihan melalui proses yang murni, bersih, benar serta jujur dan menggunakan prinsip demokrasi, ‘namun demokrasi’ yang dijalankan bukanlah sistem yang dibuat oleh Allah Ta’ala. Di dalamnya sama sekali tidak ada ruh keimanan. Dan ketika keimanan itu tidak ada maka campur tangan Allah pun tidak ada, sama sekali kosong dari petunjuk-Nya.

Sebuah Lembaga Pemilihan (The Electoral School)

Semua permasalahan harus diletakkan di atas landasan ketakwaan dan keimanan. Jika tidak ada ketakwaan, maka tidak akan ada keterlibatan Allah Ta’ala. Maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah, “Siapakah mereka-mereka yang memilih Khalifah dan bagaimana kita bisa yakin bahwa mereka itu telah mencapai tingkatan ketaqwaan yang tinggi?”

Untuk menjawab pertanyaan ini maka lembaga pemilihan telah dibentuk untuk memilih seorang Khalifah. Berapa jumlahnya yang ikut berpartisipasi dalam proses pemilihan tidak ditentukan. Ketentuannya hanyalah bahwa mereka harus memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Ketika Rasulullah SAW wafat, jajaran pimpinan kaum Muslimin pada waktu itu menyetujui secara bersama untuk mendudukkan Hazrat Abu Bakar RA. sebagai Khalifah yang pertama.

Sejarah yang memberikan cacatan bahwa sepeninggal Rasulullah SAW hanya beliau sendiri yang memiliki tingkat keimanan paling tinggi pada saat itu, menjelang kewafatannya, beliau menunjuk Hazrat Umar bin Khattab RA sebagai penggantinya.

Di masa Hazrat Umar bin Khattab RA sebagai Khalifah Rosyidah II, beliau membentuk lembaga pemilihan yang beranggotakan enam orang. Orang-orang yang ada dalam lembaga tersebut terdiri dari pimpinan terkemuka kaum Muslimin yang kepada mereka Rosulullah SAW telah menyampaikan kabar suka bahwa mereka adalah ahli surga. Sejarah kemudian mencatat bahwa lembaga ini hanya bertahan sampai dengan pemilihan Khalifah Rasyidah yang ke-4, Hazrat Ali bin Abu Thalib RA.

Pada Masa Kebangkitan Kembali Islam yang Kedua, yaitu setelah kedatangan Al Masih yang dijanjikan, Hazrat Muslih Mau’ud RA, yang juga Khalifatul Masih II membentuk “The Electoral School” Lembaga Pemilihan Khalifah atau yang dikenal dengan nama Majlis Intikhab-e-Khilafat yang anggotanya terdiri dari keluarga dan sahabat-sahabat Masih Mau’ud AS, mereka yang memiliki jabatan tertinggi dalam Jemaat sebagai Nazir, mereka yang telah mempersembahkan hidupnya untuk Jemaat dan telah berkhidmat pada Jemaat diluar Pakistan selama sedikitnya 3 tahun (tidak semua), serta mereka yang telah dipilih sebagai Amir Jemaat di masing-masing negara (tidak semua negara).
Mereka itulah yang bisa menjadi anggota Majlis Intikhab-e-Khilafat, mereka harus berkumpul bersama ketika seorang Khalifah telah meninggal dunia. Seseorang tidak boleh diwakilkan. Orang itu harus datang sendiri ke tempat pemilihan sebab ia akan berkumpul bersama dengan orang-orang yang beriman lainnya. Di sana dia akan melihat sendiri akibat dari wafatnya Khalifah dan mengalami sendiri derita serta kedukaan karena perpisahan, yang dengan hal itu dapat membawanya dekat dengan Allah Ta’ala. Disana dia akan terus berdo’a kepada Allah Ta’ala. Setiap waktu dia akan melakukan pembaharuan, pensucian serta memperkuat hubungannya dengan Allah Ta’ala. Dia akan berdo’a, berdo’a dan berdo’a:

“Ya Allah, berikan petunjuk kepadaku dan katakan padaku siapa yang ingin Engkau pilih sebagai Khalifah”

Mereka yang ikut serta dalam proses pemilihan mungkin tidak memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Begitupun, seseorang bisa saja memiliki tingkat keimanan yang tinggi akan tetapi mungkin Allah tidak memilih untuk berkomunikasi dengannya.

Pada saat pemilihan berlangsung Allah Ta’ala tidak harus berkomunikasi dengan setiap individu tetapi Dia berkomunikasi dengan mereka secara mayoritas. Jika mayoritas tidak memiliki keimanan, maka itu bukan kumpulan orang-orang yang beriman. Dan jika tidak ada kumpulan orang-orang yang beriman maka Allah tidak akan menampakkan Diri-Nya.

Siapa Yang Membuat Pilihan?

Kumpulan orang-orang yang beriman itu berdo’a kepada Allah Ta’ala siapakah yang akan Dia pilih. Mayoritas dari mereka akan menerima petunjuk dari Allah sehubungan dengan orang tertentu, jadi mereka memberikan suaranya, dan dipilihlah orang tersebut. Oleh siapa? Oleh Allah Ta’ala tentunya!

Sebuah contoh sederhana bisa membantu kita memahami hal ini. Jika kita mempunyai piring yang berisi sebuah jeruk, sebuah pisang, sebuah apel dan sebuah pir. Seseorang meminta kita untuk memilih satu dari buah tersebut untuk sang ayah. Kita bisa saja membuat pilihan kita sendiri dan memberikannya kepada ayah kita. Sebagai anak yang baik kita tidak akan melakkan hal itu, tapi sebaliknya kita temui sang ayah terlebih dulu untuk menanyakan,

“Ayah, buah apa yang Ayah inginkan?” Ayah menjawab: “Saya ingin apel”.

Setelah menerima jawaban ini, kita pergi dan mengambil buah apel tersebut dan mempersembahkannya pada sang ayah. Dalam contoh ini, siapa yang membuat pilihan? Apakah kita sendiri yang telah mengambilnya? Jawabannya tentu saja bukan! Sama sekali bukan. Ayah kita sendiri yang telah membuat pilihan tersebut.

Hal seperti itu terjadi dalam pemilihan seorang Khalifah. Hal itu tidak terjadi dalam pemilihan Bush, tidak terjadi dalam pemilihan Hitler. Atau juga tidak terjadi dalam pemilihan pemimpin duniawi lainnya. Ini hanya bisa terjadi dalam pemilihan seorang Khalifah. Inilah pemilihan yang berdasarkan pada keimanan dan keimanan itu berdasarkan atas hubungan antara orang-orang yang beriman dengan Yang Maha Pencipta. Jadi, Dia sendiri yang membuat pilihan dan Dia sendirilah yang menunjuk seseorang untuk menduduki jabatan sebagai Khalifah.

Khilafat: Sebuah Rahmat Agung yang mengandung Peringatan

Adanya Pemilihan seorang Khalifah menunjukkan bahwa Allah telah mengaruniakan suatu Kehormatan Yang Agung kepada orang-orang yang beriman dengan mengijinkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan Khalifah. Dalam hal pemilihan seorang Nabi, belum ada kumpulan orang-orang yang beriman, jadi Allah Ta’ala Sendiri yang menunjuk seorang nabi secara langsung, tanpa campur tangan manusia. Sesudah komunitas orang-orang beriman itu terbentuk, Allah Ta’ala ingin menganugerahkan kehormatan ini kepada mereka dengan mengundang mereka untuk ikut berpartisipasi dalam proses pemilihan Khalifah. Meskipun pilihan terakhirnya adalah Dia yang menentukan, namun demikian mereka mendapat berkah untuk ambil bagian dalam proses tersebut.

Allah Ta’ala bisa saja memberikan pilihan-Nya untuk menunjuk seorang Khalifah sama seperti halnya Dia menunjuk seorang Nabi. Tidak ada campur tangan manusia. Komunitas orang-orang yang beriman bisa saja mengabaikan sama sekali proses tersebut. Akan tetapi ini adalah karena kecintaan Allah kepada mereka bahwa Dia mengundang mereka untuk ambil bagian. Melalui mulut dan dengan tangan mereka menunjuk seseorang, demikianlah kehendak Allah Ta’ala telah dimanifestasikan dan Khalifah barupun dipilih oleh-Nya untuk meneruskan tanggung jawab memimpin jamaah orang-orang yang beriman.

Kehormatan Yang Agung ini juga mengandung peringatan, bahwa jika standar keimanannya jauh dibawah dari apa yang dikehendaki Allah Ta’ala, atau jika komunitas orang-orang yang beriman gagal untuk menunjukkan ketaatan yang tinggi kepada Khalifah mereka maka karunia dan kehormatan ini akan diambil dan manusia akan sendirian, tidak ada Allah disisinya. Yang terjadi kemudian adalah membuat pilihan yang benar dan tepat menurut cara dan standar yang mereka buat sendiri.

Khalifah dan Masalah Duniawi

Karena seorang Nabi dan seorang Khalifah adalah keduanya dipilih oleh Allah Ta’ala, maka keduanya dapat melakukan kesalahan yang sama. Hal ini juga terjadi dalam wujud suci Hazrat Muhammad SAW. Dari tarikh kita mengetahui, suatu kali Rasulullah SAW sedang berjalan-jalan dan melihat seseorang melakukan penyilangan untuk tanaman kurmanya. Melihat hal itu Rasulullah SAW bertanya pada orang tersebut,

“Mengapa Anda melakukannya seperti ini?” Rasulullah kemudian memberitahukan kepadanya suatu cara penyilangan yang lain.
Ketika Rasulullah pergi, mereka berpikir bahwa Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk melakukan penyilangan seperti apa yang dinasihatkan beliau tadi. Setahun kemudian panenannya tidak bagus. Kemudian mereka menemui Rasulullah SAW dan mengabarkan bahwa penyilangan seperti apa yang dinasihatkan oleh beliau tidak menghasilkan panen yang memuaskan. Mendengar pengaduan ini beliau menjawab bahwa untuk urusan dunia mereka lebih mengetahui dari pada beliau sendiri.

Peristiwa ini memberikan pesan bahwa, seorang Nabi tidak mesti harus ahli dalam setiap hal dalam urusan keduniawian. Ini bukan misi daripadanya. Seorang Khalifah juga tidak harus sebagai seorang ilmuwan, insinyur, arsitek atau seorang yang ahli dalam bidang computer atau yang lainnya. Ini bukan tanggung jawabnya. Jadi seorang Nabi dapat membuat kesalahan yang berhubungan dengan keduniawian, seorang Khalifah juga dapat melakukan hal yang sama. Tidak ada perbedaan antara seorang Nabi dan Khalifah dalam hal ini.

Perang Badr: Allah Sendiri yang Menutupi Kesalahan

Suatu kali Rasulullah SAW sedang mempersiapkan peperangan pertamanya, Perang Badr. Beliau, menjadi komandan utama, memimpin para tentaranya dan memilih camp untuk para tentara, dalam persiapannya menghadapi serangan musuh. Pilihannya ternyata salah. Pilihan beliau ternyata bisa berakibat fatal karena justru menguntungkan musuh. Salah seorang tentara muslim pada waktu itu menyarankan untuk memilih tempat strategis yang dekat dengan sumber air, akhirnya Rasulullah SAW pun menyutujuinya. Pasukan kaum muslimin pun berpindah dan mendirikan camp ke tempat yang dekat dengan sumber air.

Dalam kejadian ini Rasulullah telah membuat pilihan yang salah dalam bersiasat. Seorang pengikut setianya telah menyarankan akan tindakan yang benar dan tindakan tersebut seketika itu langsung diambil. Jadi dengan demikian seorang Nabi dapat membuat kesalahan semacam ini dan seorang Khalifah juga dapat melakukan hal yang serupa. Tapi, melalui kedua hal tersebut, kesalahan itu dapat segara dibetulkan, ini juga merupakan bentuk penjagaan yang diberikan langsung oleh Allah Ta’ala.

Secara teoritis, tak seorang pun dapat menemukan suatu kesalahan yang telah dilakukan oleh seorang Nabi atau Khalifah yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kemajuan komunitasnya. Harus dipahami bahwa Allah, Dia yang telah memilih Nabi dan Khalifah, menjadi tanggungjawab-Nya untuk mengoreksi akibat dari kesalahan semacam itu, dan akibat dari hal tersebut adalah perbaikan dan kemajuan bagi jamaah secara keseluruhan.

Sholat Dhuhur dua Rakaat?

Dalam suatu peristiwa, beliau memimpin shalat Zuhur, yang seharusnya dikerjakan empat raka’at, beliau hanya mengerjakan dua raka’at. Kemudian kaum muslimin pada waktu itu menanyakan kepada beliau apakah shalatnya diperpendek atau ada sesuatu yang mengharuskan beliau untuk memperpendek rakaat dari semestinya. Menyadari telah melakukan kesalahan, seketika itu juga beliau melengkapinya dua rakaat lagi.

Kesalahan yang berhubungan dengan masalah Syari’at semacam itu bisa saja dilakukan oleh seorang Nabi atau Khalifah tapi kesalahan itu hanya karena faktor kelupaan. Setiap manusia itu memiliki sifat pelupa. Seorang Nabi atau Khalifah adalah manusia biasa, keduanya bisa juga lupa. Akan tetapi kesalahan seperti itu dapat dikoreksi dengan segera. Setiap kesalahan yang berhubungan dengan Syari’at tidak pernah dibuat secara sengaja, baik itu oleh Nabi atau Khalifah.

Kita sering mendengar pernyataan bahwa seorang Nabi adalah Ma’suum (orang yang dilindungai oleh Allah Ta’ala dari dosa). Perlindungan ini bukan merupakan anugerah seorang Nabi atas keinginannya sendiri. Itu timbul dalam dirinya sebagai konsekuensi logis atas kesetiaan yang total kepada Allah Ta’ala. Setiap saat dia sadar akan kehadiran Allah Ta’ala dan sadar akan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada-Nya.

Dalam keadaan yang sadar akan kehadiran Allah Ta’ala setiap saat membuatnya Ma’suum atau dilindungi oleh Allah. Bagaimana dia melakukan kesalahan yang disengaja dengan mengingkari perintah Allah Ta’ala? Itu tidak mungkin! Begitupun, Khalifah, dia adalah seseorang yang dipilih oleh Allah TA’ALA.

Dia adalah manusia yang dipilih menjadi pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Dia adalah manusia yang paling beriman di bumi, dan dipundaknya tergantung beban memimpin jemaat menuju tingkat keimanan yang lebih tinggi untuk mencapai kesempurnaan keimanan. Bagaimana mungkin wujud semacam itu akan melakukan kesalahan yang disengaja untuk mengingkari perintah Allah Ta’ala? Itu tidaklah mungkin!
Ketika Allah memilih seseorang yang bertujuan untuk menjaga keselamatan rohaniah suatu jemaat, lalu bagaimana bisa seseorang berharap bahwa orang tersebut menentang Syariat dan mengingkari perintah Allah dengan disengaja? Tidak pernah sama sekali! Itu betul-betul tidak mungkin, mustahil. Tidak ada bedanya antara seorang Nabi atau Khalifah dalam hal ini. Tidak ada perbedaan apapun.

Semua yang dilakukan oleh seorang khalifah adalah cerminan keagungan dari institusi Khilafat. Dan ini merupakan bagian dari kelanjutan atas berkah kenabian.

Betapa beruntungnya kita para Ahmadi diberkahi institusi Khilafat. Kenikmatan yang kita dapati dan kebahagiaan yang kita alami tiada bandingannya karena institusi Khilafat ini telah didirikan kembali, yang Insya Allah akan berlangsung sampai hari kiamat.

Hakikat Taat Kepada Setiap Keputusan yang Ma’ruf

Jika seorang Khalifah dilindungi dari berbuat salah yang bertentangan dengan syariat secara disengaja lalu kenapa dalam pernyataan janji Khuddam dan dalam pernyataan Bai’at, seseorang harus berjanji akan patuh dan taat kepada Khalifah untuk segala keputusan yang ma’ruf? Apakah itu berarti bahwa secara tidak langsung Khalifah memberikan instruksi yang salah, sebagai contoh, yang bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala.

Faktanya adalah pernyataan “patuh dan taat pada setiap keputusan yang ma’ruf” juga telah digunakan oleh Rasulullah SAW pada saat Bai’at yang diikuti oleh beberapa orang laki-laki dan wanita dari Madinah. Dalam kitab suci Al Qur’an juga disebutkan di salah satu dari tujuh konteks “Ayatul Istikhlaf”, yang artinya: “Katakanlah, “Janganlah bersumpah; apa yang diminta dari kamu adalah ketaatan kepada apa yang benar” (An Nur : 54).

Ini mengandung pengertian bahwa perintah apapun yang kita terima dari Allah Ta’ala, dari Nabi ataupun dari seorang Khalifah adalah baik bagi kita dan ketika kita mematuhinya, maka kita akan taat dan mengikuti segala hal yang baik. Jadi ketaatan akan selalu ada dalam segala hal yang baik. Oleh karena itu, Orang-orang yang beriman dijanjikan dengan pernyataan “taat pada segala hal yang baik” yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, setiap perintah yang datang dari Rosulullah SAW dan setiap petunjuk yang diberikan oleh seorang Khalifah adalah kebenaran semata.

Sehingga, apapun yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk kita, atau dari orang pilihan Allah, sebagai seorang Nabi atau Khalifah adalah baik. Ini adalah jaminan bagi orang-orang yang beriman bahwa setiap perintah yang ditujukan kepadanya yang memintakan ketaatan hanyalah untuk kebaikan.

Hal tersebut diatas juga rupakan Kebesaran dari institusi Khilafat. Betapa beberkatnya dapat memahami setiap peraturan dan perintah yang diterima oleh orang yang beriman dari Khalifahnya yang tujuan akhirnya hanyalah untuk kebaikan.

Khalifah Sebagai Penggenapan Kudrat Kedua

Hazrat Masih Mau’ud AS dengan tepat sekali telah memberikan nama institusi Khilafat dengan “Qudrat-e-Sania”, yaitu Manifestasi Yang Kedua, atau Kudrat yang Kedua. Manifestasi yang pertama adalah digambarkan melalui diutusnya seorang Nabi. Dan manifestasi yang kedua digambarkan melalui dipilihnya seorang Khalifah. Tidak ada bedanya, tidak ada sama sekali. Kecuali orang itu dipilih secara langsung oleh Allah Ta’ala dan yang lainnya itu dipilih melalui mereka untuk memanifestasikan kehendak Allah Ta’ala. Yang satu dilakukan melalui sifat Rahmaniyat-Nya dan yang lain melalui sifat Rahimmiyat-Nya.

Banyak orang pernah mengunjungi daerah yang dikenal dengan “Thousand Islands” (Pulau Seribu) dan sekiranya mereka melihat pohon-pohon yang tumbuh di suatu tempat di mana tak seorangpun dapat mencapainya. Pohon tersebut tidak ditanam melalui tangan manusia. Pohon itu tumbuh dibebatuan atau di suatu pulau yang kecil yang tak satupun orang bisa hidup disana atau bahkan dapat bertahan hanya untuk menanam pohon tersebut. Pohon ini ditanam oleh Allah Ta’ala tanpa campur tangan manusia. Pohon yang lain mungkin ada yang telah ditanam oleh manusia. Allah Ta’ala itu Maha menumbuhkan kedua hal itu.

Gambaran yang sama juga terjadi ketika Allah telah memilih Nabi secara langsung dan memilih Khalifah secara tidak langsung dan tidak ada beda antara keduanya. Perbedaan mungkin hanya ada pada misi yang diemban oleh para Nabi atau Khalifah. Nabi memiliki tugas mengumpulkan orang-orang guna mendirikan komunitas orang-orang yang beriman. Sedangkan Khalifah bertugas membangun komunitasnya dan menyebarkannya keseluruh penjuru dunia. Hal ini seperti mendirikan bangunan yang mengagumkan: Nabi meletakkan dasar fondasinya, Khalifah yang pertama membangun lantai pertamanya, lalu Khalifah yang kedua membangun lantai yang kedua dan seterusnya sampai bangunan tersebut meninggi mencapai langit, dan menjadi suatu rentetan karunia; akarnya telah tertanam dengan kuat menelan bumi dan cabang-cabangnya menggapai surga, dengan membawa segala macam buah-buahan setiap saat melalui perintah Tuhannya.

Hazrat Khalifatul Masioh IV RA dalam suatu khutbah pada tanggal 23 November 1990 mengenai tema “Tali Allah”. Beliau antara lain mengatakan bahwa ketika kita tahu akan pentingnya “Tali Allah”, maka kita harus terus berpegang teguh pada Tali Allah. Melalui Tali Allah tersebut terdapat keselamatan bagi kita. Melalui Tali Allah tersebut kita akan berhasil. Hanya dengan Tali Allah-lah terdapat kemajuan dan perlindungan. Dengan terus berpegang teguh pada Tali Allah, kita bisa mendapatkan segala kemurahan dan berkat dari Allah TA’ALA.

Khalifah: Manusia Penuh Kebesaran

Suatu kali seseorang bertanya kepada Chaudhry Muhammad Zafrullah Khan. “Chaudhry Sahib, Anda telah mendapatkan kesuksesan dalam hidup Anda dan mendapat begitu banyak Karunia dari Allah Ta’ala dalam hidup Anda. Dapatkah Anda mengatakan kepada saya, apa rahasia dibalik semua itu?”. Tanpa ragu-ragu dan berpikir panjang beliau langsung memberikan jawaban, “Sebab selama hidup saya, saya taat kepada Khalifah.”

Sebuah Jawaban yang cerdas luar biasa dari sosok manusia yang luar biasa pula. Dari sejarah ini kita dapat mengambil teladan bahwa, dengan kita memegang erat ‘Tali Allah’ dalam manifestasinya yaitu wujud seorang khalifah, maka dengan sendirinya hubungan kita dan Allah Ta’ala akan semakin dekat, khalifah menjadi jalan bagi kita untuk meraih keridhoan-Nya. Keitaatan kepada khalifah berarti ketaatan kepada Allah Ta’ala dan pengingkaran atau kedurhakaan kepada khalifah berarti pengingkaran dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala memberkahi kita kekuatan untuk terus mengambil manfaat dari adanya Khilafat ini. Semoga Dia memberkahi kita kemampuan untuk memahami kebesaran dan keagungan institusi Khilafat. Semoga Allah Ta’ala memberikan kekuatan pada kita semua untuk terus berpegang teguh pada Tali Allah, sehingga Karunia-Nya ini akan terus mengalir kepada kita semua, Amiin.

Sumber: ahmadiyya.or.id

Tags: ,

No Responses

Tinggalkan Balasan