Mengenal Sosok Harlina | Pegiat Literasi Asal Malang di Soasiu dan Kotabaru pada Masa Trikora 1961-1963

Mengenal Sosok Harlina | Pegiat Literasi Asal Malang di Soasiu dan Kotabaru pada Masa Trikora 1961-1963

“Surat kabar atau batjaan-batjaan djuga tidak ada, sehingga rakjat sekitar daerah ini buta sama sekali mengenai Irian Barat dan perkembangan-perkembangan lain. Aku tertarik sekali oleh segi ini. Mungkin lebih baik kalau aku menjeburkan diri dalam dunia penerangan rakjat, walaupun aku bukan pegawai penerangan. Ada baiknya kalau di Soasiu diterbitkan surat kabar, walaupun tidak harian, tjukup mingguan.”

Masroor Library – Nama Malang, khususnya Stadion Olahraga Kanjuruhan sontak menjadi perbincangan warga dunia di dunia maya. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lainnya. Pasalnya, perhelatan liga sepakbola antara Arema FC dan Persebaya menunai korban jiwa. Tidak tanggung-tanggung, jumlah korban yang tewas mencapai ratusan orang.

Dunia persepakbolaan dunia pun berduka. Dalam sejarah, ini adalah jumlah korban tewas terbanyak sepanjang sejarah perhelatan olahraga lapangan rumput itu. Jumlah korban, mengalahkan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, kecuali di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru. Korban jiwa di Peru yang terjadi pada 24 Mei 1964 itu mencapai 328 orang.

Bahkan, beberapa pertandingan sepakbola yang dilakukan oleh FIFA seolah mewajibkan dilaksanakannya mengheningkan cipta untuk tragedi korban di Stadion Kanjuruhan Malang itu. Solidaritas dunia olahraga muncul di berbagai belahan dunia. Mereka bersimpati dengan apa yang terjadi di Indonesia. Bahkan, Presiden Jokowi meminta agar liga itu dihentikan sementara.

Nama Malang, juga pernah mencuat ketika salah seorang warganya menerima penghargaan dari Presiden Soekarno, 1963. Dialah Harlina, sosok sukarelawati Trikora yang mendapatkan pending emas seberat 500 gram dan uang Rp 10 juta dari Presiden Soekarno. Namun, Harlina kemudian mengembalikan lagi hadiah itu dengan alasan bahwa dia berjuang murni untuk bangsa dan negara, bukan untuk mendapatkan hadiah.

HARLINA KASSIM: SOSOK PROGRESIF MELAMPAUI JAMANNYA

Namanya Sitti Rachmah, tetapi nama Harlina Kassim lebih populer dibanding nama aslinya. Harlina dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada 24 Februari 1941. Pendidikan dasar diselesaikan di Malang pada 1953 (SD). Sedangkan pendidikan menengah dilakoni di Jakarta: 1956 (SMP) dan 1959 (SMA). Dua tahun kemudian Harlina menjadi wartawan perempuan di Ternate, kini Provinsi Maluku Utara, dan mendirikan Mingguan Karya.

Ketika Presiden Soekarno mencanangkan operasi Trikora pada 19 Desember 1961, Harlina merasa terpanggil untuk ikut dalam operasi tersebut. Berbekal kemampuan jurnalistiknya, Harlina akhirnya lolos dan siap diterjunkan di kawasan Irian Barat. Meskipun secara fisik, awalnya Harlina merasa ragu untuk bisa lolos. Pandangan Pangdam XVI Pattimura saat itu menyatakan, bahwa senjata pena lebih tajam dari peluru.

Salah satu kemampuan Harlina lainnya adalah kemahirannya dalam berbahasa Inggris dan Belanda. Dengan modal itu, Harlina mudah berkomunikasi dengan orang-orang lain. Ia turut andil dalam membimbing masyarakat setempat untuk menguasai baca tulis, berhias, tata busana. Terkadang untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, Herlina pun mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

SOASIU, IBUKOTA SEMENTARA IRIAN BARAT

Harlina pernah dikenal sebagai sosok perempuan yang berkeliling Indonesia. Dia telah mengelilingi Indonesia, hanya Irian Barat saja yang belum pernah dikunjungi. Oleh sebab itu, selepas mengunjungi Sumatra Utara, timbul keinginan yang kuat di hatinya untuk bisa menginjakkan kaki di provinsi paling timur itu.

Meskipun usianya masih sekitar 20 tahunan, tetapi keinginannya sungguh sangat besar. Untuk menggenapi niatnya itu, Harlina pun sampai tega meninggalkan ibunya. Seorang diri perempuan mungil itu mengarungi lautan dari Pelabuhan Surabaya ke Pelabuhan Makassar dan selanjutnya menuju Pelabuhan Ambon di Maluku. Dari sana, dia menuju ke Soasiu, kini di Maluku Utara.

Tekadnya sudah bulat. Harlina ingin tinggal dan berbakti bagi negeri melalui bidang penerangan masyarakat alias literasi. Soasiu, saat itu, adalah ibukota sementara dari Provinsi Irian Barat. Letaknya tidak jauh dari Ternate, hanya beberapa jam saja ditempuh dengan perahu kayuh. Oleh sebab itu semua kesulitan, dia lalui dengan penuh kesabaran.

“Mengapa aku sampai disini kadang-kadang aku berpikir, seolah-olah chajalan. Aku masih ingat pada kata-kataku, kepada polisi-polisi muda jang dipindahkan ke Soasiu. Waktu itu mereka sangat menyesal atas lepindahannja kedaerah yang sangat sunji seperti Soasiu. Mereka merasa tertipu, jang disebut Propinsi Irian Barat itu njatanya seperti daerah mati belaka. Walaupun mereka laki-laki, namun banjak jang menangis. Maklum, umurnja juga masih diantara 17-22 tahun, begitu keluar dari pendidikan Sukabumi langsung dibawa ke Soasiu,” tulis Harlina mengenai suasana di Soasiu.

Harlina menyadari bahwa tinggal di daerah yang sunyi seolah mirip buangan. Tetapi, dia berharap bahwa Soasiu akan mengalami kemajuan dan perkembangan baru. Anjuran Presiden terkait asimilasi antar daerah bisa terlaksana. Termasuk, polisi muda yang bujangan tadi, bisa menikahi perempuan Soasiu sehingga akan menjadi ramai.

Menurut Harlina, di Soasiu memang sudah ada pemancar Radio Republik Indonesia (RRI) Ternate. Namun, itu adalah pemancar lokal dan sayangnya tidak semua warga disana memiliki radio. Penerangan dari radio tidak ada. Hal inilah yang menjadi pemikiran Harlina akan pentingnya surat kabar, perpustakaan dan sarana penerangan masyarakat lainnya.

Untuk mempermudah segala kegiatannya, Harlina membuat sebuah yayasan yang diberi nama Kartika Lina. Yayasan ini bukan hanya menerbitkan Mingguan “Karya” tetapi juga bergerak dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan lainnya. Perpustakaan, olahraga, tata busana dan kesehatan.

MENERBITKAN MINGGUAN “KARYA” DAN SELEBARAN “TJENDERAWASIH”

Sesuai dengan tekadnya, Mingguan Karya akan diterbitkan kembali pada 1 Desember 1961. Oleh sebab itu, Harlina berjuang untuk mengupayakan kertas, sebab saat itu kertas terbilang langka. Hanya kementerian saja yang memilikinya. Dengan berusaha meminta kesana-kemari, akhirnya Harlina pun mendapatkan kertas. Jumlahnya lumayan banyak hingga ratusan rim.

Sayangnya, untuk membawanya dari Makassar dan Ambon lalu ke Soasiu tentu memerlukan perjuangan lagi. Suka-duka membawa kertas itu selama dalam perjalanan dari Makassar, Ambon dan Soasiu menjadi pengalaman tersendiri bagi Harlina. Bagaimana dia sempat tertinggal kapal, sehingga harus naik perahu dayung ke Soasiu. Perjalanan yang tidak mudah bagi gadis beliau berusia 20 tahun saat itu.

Akhirnya, setelah melewati berbagai cobaan, Harlina pun dapat menerbitkan Mingguan “Karya”. Formatnya mirip Berita Minggu yang ada di Jakarta, yaitu mencakup kolom cerita pendek, gambang Jakarta a la daerah, ruang pendidikan dan kesehatan. Untuk kolom 1, berita-beritanya harus yang hangat. Berita-berita itu dikumpulkan empat hari sebelum proses pencetakan di Soasiu.

Harlina memiliki staf redaksi di antaranya Hamid, Idris, Saibu, Saleh dan beberapa orang lainnya. Ketika Harlina berangkat ke Irian Barat bersama sukarelawan lainnya, hanya Hamid yang tinggal di Ternate meneruskan penerbitan Mingguan Karya. Mingguan itu tetap terbit secara teratur meski Harlina dan yang lainnya tidak ikut membantu.

Sementara itu, Harlina juga menerbitkan selebaran Tjenderawasih di pedalaman pulau perbatasan: Pulau Omera, Pulau Kawe dan pulau-pulau lainnya di sekitar Sorong. Dengan mengandalkan mesin stencil dan kertas puluhan rim yang dibawa dari Soasiu, pekerjaan penerbitan untuk penerangan masyarakat itu dapat dilakukan. Bisa dibayangkan, orang yang membawa mesin stencil itu tentulah agak kesusahan.

Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI, Harlina juga membuat surat kabar Tjenderawasih di Kotabaru (Jayapura). Surat kabar itu kemudian berubah dari format stencil menjadi format percetakan profesional. Bisa dibayangkan, bahwa pada tahun-tahun itu, barang cetakan masih dianggap sesuatu yang mewah. Alasannya, tidak semua masyarakat dapat membaca suratkabar. Kiriman dari Jakarta, bisa berbulan-bulan baru tiba di Tanah Papua.

MENYELENGGARAKAN PAMERAN BUKU BEKERJA SAMA DENGAN PT “GUNUNG AGUNG” DI IRIAN BARAT: KOTABARU, BIAK, SERUI, SORONG, FAK FAK DAN KAIMANA (1963)

Peluang langkanya bahan bacaan di Indonesia saat itu, tertangkap oleh Haji Masagung alias Tjio Wie Tay. Pada awalnya, Tjio berjualan kecil-kecilan di jalanan Glodok dan Pasar Senen. Tetapi pada 13 Mei 1951, dia membuka toko buku yang diberi nama sesuai namanya. Arti nama itu sendiri adalah “Gunung Besar”. Nama itu kemudian diubah menjadi Gunung Agung.

Presiden Soekarno beberapa kali hadir dalam peresmian Toko Buku Gunung Agung itu. Bahkan, karena kekagumannya, Bung Karno menjadikan Gunung Agung sebagai ujung tombak pendidikan nasional. Sejak saat itu, Gunung Agung menjadi terkenal dan membuka cabang dimana-mana. “Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan,” ujar Bung Karno dalam suatu kesempatan.

Buku-buku mengenai perjuangan Trikora dan Bung Karno pun dicetak oleh Gunung Agung. Masagung terus menerbitkan sejumlah buku-buku baru terkait perjuangan bangsa Indonesia, mulai dari Di Bawah Bendera Revolusi (2 jilid), Biografi Bung Karno tulisan wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (5 jilid), serta sejumlah buku tentang Bung Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.

Presiden Soekarno juga ingin agar Gunung Agung dapat berperan dalam Trikora. Oleh sebab itu Gunung Agung diminta memenuhi kebutuhan buku-buku untuk di Irian Barat. Permintaan itu kemudian dipenuhi oleh Gunung Agung, dan kebetulan Harlina masih berada di Kotabaru (Jayapura). Maka pameran buku-buku pun diselenggarakan di Jayapura, Serui, Biak, Sorong, Fak Fak dan Kaimana.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan pula bahwa pada tahun 1963-1964 itu, Gunung Agung telah memiliki perwakilan atau kantor cabang di Irian Barat. Di antaranya terdapat di Jalan Kalimantan 13 Sukarnapura (Jayapura), di Jalan Numfor, Biak dan di Jalan Merdeka, Manokwari. Sedangkan untuk Yogyakarta ada di Jalan Diponegoro dan di Tanjung Pinang ada di Jalan Bali. Kantor pusatnya sendiri ada di Jalan Kwitang 13, Jakarta.

P E N U T U P

Harlina Kassim telah membuktikan, bahwa meskipun awalnya hanya dengan modal niat saja, tetapi dibarengi dengan usaha, semua itu dapat dilaksanakan. Niat artinya cita-cita, tanpa adanya kemauan, manusia tak akan berusaha. Niat mendirikan Mingguan “Karya” di Soasiu sebagai ibukota propinsi perjuangan Irian Barat, telah terlaksana.

Begitu juga niat Harlina bisa tembus ke Irian Barat sebagai sukarelawan juga telah terlaksana. Bahkan, sesuai dengan profesinya, Harlina tetap bisa menerbitkan selebaran dan mingguan di daerah yang dikuasai Belanda untuk memberikan penerangan kepada masyarakat disana akan pentingnya bergabung dengan NKRI.

Tidak hanya sampai disitu, Harlina juga menggagas pameran buku bekerjasama dengan Gunung Agung di daerah Irian Barat yang baru saja dikembalikan kepada NKRI. Pada 4-6 Februari 1963, Harlina menyelenggarakan Pameran Buku-buku Indonesia sebagai ketua penyelenggara bersama direktur PT Gunung Agung.

“Siang malam kami sibuk meladeni para pengunjung jang terus sadja membandjiri pameran buku dan selama tiga hari itu, buku-buku berpindah tangan seperti katjang goreng sadja. Tak lupa, buku-buku komik jang menarik hati anak-anak dan kaum tua ikut habis terbeli. Sungguh suatu pameran jang sangat berhasil!”

Kini, generasi saat ini, tentu sangat sedikit mengalami hambatan jarak dan waktu. Sarana dan prasarana perhubungan telah menghubungkan berbagai tempat dan lokasi di Indonesia. Hanya dalam hitungan jam saja, kita dapat mencapai lokasi tujuan. Oleh sebab itu, tidak ada alasan kegiatan literasi tidak dapat berjalan.

Untuk mencapai pulau-pulau terpencil dan terluar, sudah ada perahu dan pesawat yang bisa dimanfaatkan. Tinggal semangat dan niat yang perlu dipertahankan. Apatah lagi yang berada masih di dalam kota, tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan mereka. Generasi emas Papua harus senantiasa memperoleh hak-haknya, terutama literasi dasar alias calistung. []

CATATAN:

Selesai ditulis pada Senin, 3 Oktober 2022 di RDM Jang-eMuqaddas, Arfai, Manokwari, Papua Barat pkl. 10:16 WIT.

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
• Penggiat Literasi, Rumah Baca “HITI-HITI HALA-HALA” Manokwari, Papua Barat
• Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan, BPIP RI Jakarta

No Responses

Tinggalkan Balasan