Menelusuri Jejak Salahakan Samaru | Gubernur Kesultanan Ternatai

Menelusuri Jejak Salahakan Samaru | Gubernur Kesultanan Ternatai
"Sekitar 10 liga dari Sullach (Sula) dalam perjalanan yang sama kami menemukan sebuah pulau yang sangat besar, di pulau itu terdapat beras, kambing, binatang ternak, kelapa, gula, sagu, kacang, madu dan masih banyak lagi. Orang-orang di pulau tersebut bertelanjang, sama persis dengan seperti penduduk di Sullach, tidak mengenal agama dan tidak memiliki Raja, pulau tersebut yakni Pulau Buru." (Antonio Pigafetta, penulis Italia dalam Maggellan’s Voyage: A Narrative Account of The First Circummnavigation, 1521)

The Salahakan Samarau –so much history has generally written its name– is mentioned in some domestic and foreign literature. In some of the history of the development of Islam in Maluku and North Maluku, Samarau’s position is high. In addition to being Salahakan (at the level of the Overseas Governor), he was also the War Commander of the Sultanate of Ternate. However, not many people know him further: where he lives after he was no longer active in the Sultanate of Ternate, where he died, where his descendants are now.

Masroor Library – Pulau Buru merupakan salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku. Dengan luas 8.473,2 km², dan panjang garis pantai 427,2 km, Pulau Buru menempati urutan ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan dan Pulau Seram di Maluku Tengah. Secara umum Pulau Buru berupa perbukitan dan pegunungan. Puncak tertinggi mencapai 2.736 m.

Dalam sejarah Kesultanan Ternate, Pulau Buru pernah menjadi tempat kedudukan Salahakan III setelah Sula dan Hoamoal. Salahakan merupakan jabatan setingkat gubernur bagi para pejabat Kesultanan Ternate yang berada di seberang lautan. Sebagai kepanjangan tangan, mereka melaksanakan tugas-tugas administratif yang diminta oleh Sultan Ternate pada masanya.

Salahakan I bertempat di Pulau Sula, sedangkan Salahakan II berkedudukan di Hoamoal tepatnya di Luhu. Salahakan I di Sula dipegang oleh marga Tomaito, sedangkan Salahakan II dan III dipegang oleh marga Tomagola. Ketika Kerajaan Ternate mengembangkan sayapnya ke Selatan, Raja Marhum masih belum menganut agama Islam. Begitu juga Kimalaha Kibuba yang kemudian menjadi Salahakan di Pulau Seram Bagian Barat, yaitu di Hoamoal.

Pada masanya, Salahakan pernah mengalami unifikasi setelah melihat bahwa Kesultanan Ternate selalu dikoyak konflik internal. Oleh karenanya Salahakan pun disatukan, yaitu berpusat di Pulau Buru. Dari Pulau Buru inilah Salahakan yang berkuasa disana mengatur pemerintahan membawahi Pulau Seram dan Ambon.

Karena Salahakan Luhu memberontak terhadap VOC, maka sesuai Perjanjian Batavia, jabatan Salahakan kemudian dihapuskan. VOC mengambil alih kekuasaan atas daerah-daerah ini: Hoamoal, Ambon dan Pulau Buru. Hingga 1919 Pusat Pemerintahan VOC di Pulau Buru berada di Kayeli. Namun, setelah banjir besar akibat luapan sungai Waeapo melanda ibukota Pulau Buru dipindahkan ke Namlea.

Sepanjang 349 tahun (1570-1919), jejak Salahakan Samarau yang menguasai Pulau Buru tidak terdengar lagi beritanya. Nama Samarau sendiri hilang dari sejarah Pulau Buru. Tidak ada catatan mengenai lokasi tempat tinggal Salahakan Samarau, begitu juga kuburannya. Anak-cucunya pun tidak diketahui lagi rimbanya. Hanya, sayup-sayup terdengar, bahwa dia memiliki dua orang putra yaitu Ruhobongi dan Saptiron.

MENGENAL SOSOK SAMARAU

Dalam sejarah Kesultanan Ternate, Salahakan dibentuk pada saat ekspansi perluasan wilayah Kerajaan. Klan Tomaito dan Tomagola kemudian bergerak menuju kepulauan yang ada di bagian selatan. Marga Tomaito ke Kepulauan Sula, sedangkan marga Tomagola ke Pulau Seram. Ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Marhum (1465-1486).

Dari marga Tomagola, nama Kibuba muncul sebagai Salahakan di Hoamoal yang berpusat di Luhu, Seram Bagian Barat. Saat itu Kibuba masih belum beragama Islam. Setelah menaklukkan Seram dan kembali ke Ternate, dia kemudian menikah dengan Baifta Brioly putri Sehe Jumali yang adalah abdi dalem Kerajaan Ternate.

Dari pernikahan ini, Kibuba kemudian memeluk agama Islam mengikuti jejak Raja Ternate yang saat itu menggantikan Raja Marhum, yaitu Zainal Abidin. Kibuba memiliki tiga orang putra –yang kelak akan menjadi Salahakan juga– yaitu: Dudu, Samarau dan Molicanga. Ketika ekspansi kedua dilakukan, Samarau mempersembahkan Pulau Buru dan Pulau Ambon.

Atas jasanya tersebut, Samarau kemudian ditarik ke Kesultanan Ternate oleh Sultan Khairun Jamil sebagai panglima perang. Posisi Salahakan kemudian digantikan oleh saudaranya, Dudu. Ketika terjadi konflik perebutan tahta, Sultan Khairun Jamil dibuang ke Goa, India. Samarau tetap setia dan mengikuti Sultan Khairun ke India juga. Sultan Khairun kemudian tidak bersalah, sedangkan perebut tahtanya tewas secara misterius saat perjalanan dari Malaka ke Ternate. Khairun kemudian menjadi Sultan Ternate kembali didampingi Samarau.

Konflik internal kemudian terjadi. Pihak Portugis terlibat dalam konflik ini. Sultan Khairun tewas secara mengenaskan dibunuh oleh Portugis. Samarau yang sudah tua memutuskan menjauhi kehidupan istana yang penuh intrik. Dia memutuskan kembali ke Pulau Buru dan menghabiskan masa tuanya disana. Tidak ada catatan setelah itu, hingga VOC menduduki Pulau Buru dan menjadikan Kayeli (Cajely) sebagai ibukotanya hingga 1919.

MENELUSURI SALAHAKAN SAMARAU DI PULAU BURU

Dalam program “Napak Tilas Sejarah Islam di Maluku”, Mubalig Daerah Maluku sedikitnya menemukan tiga lokasi jejak Kesultanan Ternate. Tiga jejak terkait dengan Salahakan, satu jejak dalam Perang Pattimura. Ketiga jejak terkait Salahakan itu berada di Pulau Boano (Pulau Kelang dan Pulau Manipa), Salahakan Majira di Negeri Tamilouw (Pulau Seram) dan di Pulau Buru. Sedangkan jejak dalam Perang Pattimura berada di Pulau Saparua.

Sayangnya jejak-jejak tersebut telah menjadi samar. Peninggalan yang masih bisa ditelusuri hanya lewat marga dan benda artefaktual. Tidak ada makam definitif yang menunjukkan bahwa disana terkubur jasad Salahakan Samarau. Anak keturunannya pun tidak ada yang diketahui lagi. Semuanya serba gelap dan penuh misteri.

Jejak Salahakan Samarau mulai terendus ketika seorang profesor sejarah Maluku dari University of Hawaii at Manoa (Honolulu, Amerika) membuat perbandingan jabatan-jabatan yang ditulis oleh Portugis dan Belanda. Saat menyebut suatu gelar di Ternate dan Tidore, dia juga membandingkannya dengan gelar di daerah lain terutama di Pulau Buru untuk menyebut Salahakan pada masa lampau. Dalam bukunya, “The World of Maluku: Eastern Indonesian in Early Modern Period” yang diterbitkan oleh University of Hawaii Press, 1993, Prof. Leonard Y. Andaya mengutip buku (Grimes: 1990) yang terbit tiga tahun sebelumnya dan membahas afiliasi dan aliansi kekuatan-kekuatan di Pulau Buru dalam menghadang kekuatan VOC.

Istilah yang dibahas oleh Prof. Leonard itu adalah Jogugu (bahasa Ternate) atau padanannya Jojau (bahasa Tidore). Jogugu atau Jojau, diterjemahkan ke dalam bahasa Raja Ampat sebagai Rejao, Jaja atau Jajau. Sedangkan di Pulau Buru disebut dengan suatu istilah gelar tertentu (sengaja tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini).

Gelar di Pulau Buru itu ternyata masih ada hingga kini dan terdapat di sekitar Danau Rana. Danau Rana merupakan kawasan adat yang tidak sembarang orang asing bisa masuk kesana. Di dekat sana tinggal suatu komunitas yang disebut Hindu Silewa. Mereka pernah mengklaim, bahwa dulunya mereka adalah keturunan muslim.

Berdasarkan informasi dari narasumber disana, masih ada piring peninggalan dahulu yang bisa dilihat. Meskipun informasi ini masih minim, namun dengan melihat bekas peninggalan lainnya seperti makam, akan didapatkan informasi tambahan yang bisa mendukung pengungkapan identitas anak keturunan Salahakan Samarau.

P E N U T U P

Dari paparan di atas, didapat kesimpulan dan saran sebagai berikut:

  1. Jejak Salahakan Samarau sebagai salah satu tokoh besar Kesultanan Ternate di Maluku, khususnya di Pulau Buru hingga kini tidak banyak yang tahu.
  2. Hilangnya jejak itu, kemungkinan disebabkan oleh faktor keamanan dimasa lalu. Sama seperti di daerah lainnya di Maluku, mereka kadang menyembunyikan identitas karena khawatir akan ditangkap VOC. Akhirnya, identitas mereka terkubur selamanya.
  3. Penelusuran jejak Salahakan Samarau menjadi penting di masa kini, sebab (anak keturunan) mereka adalah muslim. Ini menjadi salah satu sasaran pertabligan di Maluku. Bila terbukti bahwa mereka masih ada dan dihubungkan kembali dengan Ternate, maka akan menjadi sejarah besar.
  4. Perlu program pertabligan yang matang terhadap keturunan Salahakan Samarau di Pulau Buru itu. Karena ini terkait dengan keturunan pejabat Kesulatanan Ternate dan marga Tomagola (serta pecahannya: Waelisa, Hitimala dan Nurlette) yang banyak terdapat di Pulau Kelang, Pulau Buano, Pulau Manipa dan Pulau Seram di Maluku ini.

—o0o—

Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Maluku*)

Negeri Lama Desa Sole, 2 Maret 2019
*) Sejak 14 April 2020 diberi amanat sebagai Mubalig Daerah Papua Barat.

Diselesaikan di Desa Sole, Pulau Kelang, Kec. Hoamoal Belakang (Waesala), Kab. Seram Bagian Barat (Maluku).

No Responses

Tinggalkan Balasan