Masroor Library – Nama Untung Sutopo bin Syamsuri dalam Operasi Trikora yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta seolah sayup-sayup terdengar. Sangat sedikit literatur yang membahas kiprah Untung yang saat itu sudah berpangkat Mayor dan bahkan merupakan anak buah dari Panglima Mandala yaitu Mayjen Soeharto. Seolah-olah jejak Untung hendak dihilangkan dari sejarah khususnya di Tentara, lebih khusus lagi di Angkatan Darat.
Padahal, Mayor merupakan suatu pangkat tertinggi saat itu bagi prajurit yang diterjunkan di Tanah Papua. Biasanya, komandan satuan yang diterjunkan di beberapa wilayah operasi saja masih sebatas berpangkat Letnan Dua (Letda) atau Letnan Satu (Lettu). Ini juga terjadi di Sorong (Klamono, Sausapor dan Teminabuan), Fak Fak dan Merauke.
Mayor Untung adalah Komandan Batalyon 454/Diponegoro yang pernah diterjunkan di Tanah Papua, khususnya di Kaimana dalam Operasi Jatayu dengan nama gugus “Gagak”. Pada 19 Januari 1963, Presiden Soekarno menyambut veteran pembebasan Irian Barat di Istana Merdeka Jakarta. Pasukan itu dipimpin oleh Mayor Untung. Hadir juga dalam kesempatan itu Panglima Mandala Mayjen Soeharto di Istana Merdeka Jakarta.
Sebagai anak buah langsung dari Mayjen Soeharto, pernikahan Untung di Kebumen juga dihadiri oleh atasannya itu. Pernikahan ini dilangsungkan beberapa bulan sebelum terjadi peristiwa Gerakan tanggal 30 September 1965 alias G 30 S/PKI. Saat itu, Mayjen Soeharto menjabat sebagai Pangdam VII/Diponegoro. Soeharto dan istri menghadiri resepsi pernikahan Untung yang merupakan Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444.
SIAPAKAH UNTUNG SUTOPO BIN SYAMSURI?
Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri merupakan Komandan I Pasukan Cakrabirawa yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 alias Gerakan Tanggal Tiga Puluh Gestapu atau G 30 S/PKI. Gerakan ini menculik “Dewan Jenderal” yang dituduh akan menggulingkan Presiden Soekarno tepat pada saat hari ulang tahun ABRI, 5 Oktober 1965. Gerakan ini diberi nama Dewan Revolusi Indonesia yang diketuai oleh Letkol Untung, seorang perwira Angkatan Darat.
Letkol Untung dilahirkan di Kedung Bajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 26 Juli 1926. Nama kecilnya adalah Kusman, yang kemudian berganti nama menjadi Untung Sutopo. Karena sejak kecil diasuh oleh pamannya bernama Syamsuri di Solo, maka kadang ditulis Untung Sutopo atau Untung Syamsuri atau lengkap sebagai Untung Sutopo bin Syamsuri. Padahal nama asli bapaknya adalah Abdullah, seorang pedagang peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo.
Kusman kecil masuk sekolah dasar di desanya, Ketelan. Di sekolah itulah Kusman mulai mengenal permainan sepak bola dan bergabung dengan Keparen Voetball Club (KVC) di desanya. Setelah lulus, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang namun tidak tamat. Waktu itu Jepang keburu masuk ke Indonesia. Akhirnya Kusman muda pun masuk ke dalam Heiho.
Heiho adalah pasukan yang terdiri dari bangsa Indonesia yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II. Heiho juga termasuk salah satu organisasi militer yang dibentuk oleh Jepang selain PETA dan Giyugun. Akan tetapi, pemuda-pemuda Indonesia yang bergabung dalam Heiho tidak pernah diberi pangkat atau jabatan yang tinggi.
Kondisi ini berbeda dengan pemuda yang tergabung dalam PETA atau Giyugun, yang selalu mendapatkan promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Diskriminasi ini berlanjut ketika seluruh Heiho Angkatan Darat atau Angkatan Laut harus memberi hormat kepada warga Jepang, baik itu sipil maupun militer.
Pasukan ini dibentuk berdasarkan instruksi Markas Besar Kekaisaran Jepang Bagian Angkatan Darat pada tanggal 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943. Departemen Humas (Sendenbu) mempropagandakan bahwa Heiho merupakan suatu kesempatan bagi para pemuda untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa.
Syarat menjadi anggota Heiho adalah berusia 18-25 tahun, memiliki tinggi minimal 110 cm, berat badan 45 kg, sehat jasmani dan rohani, berperilaku baik, dan berpendidikan minimal tamatan sekolah dasar. Para pemuda yang terpilih dijanjikan menjadi anggota Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Selama dua tahun Untung menjadi Heiho dan diperbantukan untuk pekerjaan kasar Tentara Jepang. Beberapa pekerjaan itu di antaranya membangun kubu, parit pertahanan dan menjaga tawanan. Mereka tidak dibeli dengan senjata melainkan hanya satu taiken alias sangkur yang merupakan kelengkapan mutlak seorang Heiho. Namun, saat Jepang menghadapi Sekutu, barulah Heiho diberi senjata.
Berikutnya, dalam ketentaraan Indonesia, Untung pernah menjadi anak buah Soeharto ketika ia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin. Saat itu, Partai Komunis diwakili D.N. Aidit juga menyatakan, bahwa Irian Barat (Dutch Nieuw Guinea) merupakan bagian dari Indonesia.
OPERASI JATAYU DENGAN NAMA GUGUS “GAGAK” DI KAIMANA
Operasi Jatayu merupakan salah satu operasi yang dilakukan untuk pembebasan Irian Barat. Setelah sebelumnya dilakukan berbagai operasi, maka pada 14 Agustus 1962 Panglima Mandala Mayjen Soeharto melaksanakan operasi ini dari Ambon, Maluku. Padahal basis atau markas Operasi Mandala adalah di Makassar, Sulawesi Selatan. Panglima Mandala perlu turun langsung ke Ambon untuk mengatur strategi.
Ada tiga fase yang harus dilakukan: infiltrasi, eksploitasi dan konsolidasi. Pada fase eksploitasi, Operasi Komando Mandala membuat target untuk melakukan serangan terbuka. Ini terjadi di Sorong (Klamono, Sausapor dan Teminabuan), Fak Fak, Kaimana dan Merauke. Beberapa bulan sebelumnya, terjadi juga penerjunan pasukan itu dalam Operasi Srigala, 19 Mei 1962 dan Operasi Naga, 23 Juni 1962.
Operasi lintas udara yang akan menerjunkan pasukan pada tengah malam pkl. 02:00 ini dipecah ke dalam tiga kelompok dengan rincian sebagai berikut. Operasi Elang, melibatkan dua C-130B Hercules yang diterbangkan Letkol (U) Slamet dengan wingman Kapten (U) Sukardi dan kopilot Letnan (U) I Siboen. Pesawat akan berangkan dari Laha untuk menerjunkan 132 anggota PGT di daerah Klamono, Sorong. Pasukan dipimpin oleh Kapten (U) Radik Sudarsono.
Operasi Gagak dengan sasaran Kaimana dan Merauke, juga menggunakan dua Hercules yang dipimpin oleh Mayor (U) Pribadi dan wingman Mayor (U) T.Z. Abidin. Pesawat berangkat dari Letfuan dengan membawa 141 anggota Batalion 454 Banteng Raiders Diponegoro di bawah pimpinan Mayor (Inf) Untung Supono Syamsoeri. Mereka akan diterjunkan di sekitar Kaimana.
Sementara Operasi Alap-alap dilaksanakan dari dua Hercules dengan pimpinan Mayor (U) Nayoan dan wingman Kapten (U) Santoso Suharto. Pesawat berangkat dari Amahai dengan membawa 132 anggota PGT yang akan diterjunkan di daerah Merauke. Pasukan yang dipimpin Letnan (U) II Matitaputty itu bertugas untuk memperkuat pasukan RPKAD yang telah diterjunkan terlebih dahulu pada 23 Juni 1962 dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Benny Moerdani.
OPERASI JATAYU GUGUS TUGAS (HIMPUNAN) GAGAK DI KAIMANA
atayu adalah nama tokoh protagonis dari wiracarita Ramayana, putra Aruna dan keponakan Garuda. Ia merupakan saudara Sempati. Ia adalah seekor burung yang melihat bagaimana Dewi Sita (Sinta) diculik oleh Rawana (Rahwana). Ia berusaha melawan tetapi kalah bertarung dan akhirnya mati. Kisah ini kita temukan dalam Kitab Ramayana dan Purana.
Jatayu adalah nama populer untuk anak laki-laki. Nama Jatayu paling cocok untuk nama depan. Misal seperti Jatayu Nuryansyah, Jatayu Pambayun Abimanyu, Jatayu Kencana Wisnu dan lain-laim. Di Indonesia, nama ini paling banyak ditemukan di daerah Semarang, Magetan, Purwokerto, Banyumas dan Kediri.
Nama Jatayu melambangkan ambisi yang membaja. Jika nama seseorang Jatayu, ia adalah orang yang tak henti-hentinya berupaya meraih apa yang diinginkan dalam hidup. Orang ini mencari pasangan yang sepadan secara intelektual atau yang lebih pintar lagi. Oleh sebab itu, mungkinan tidak mengherankan apabila nama sandi operasi disebut Jatayu, sedangkan gugus tugasnya adalah Gagak.
Langit Kaimana subuh, 14 Agustus 1962. Dari pesawat Hercules, 141 pasukan elit dari Batalyon 454/Diponegoro terjun senyap-senyap. Payung-payung terbuka memenuhi udara. Pasukan ini dipimpin oleh Mayor Untung Sutopo bin Syamsuri. Nama sandi operasinya Jatayu. Sedangkan nama gugus tugasnya “Gagak”.
Mayor Untung Syamsuri dan anak buahnya diterjunkan di Lembah Gunung Genova, Arguni. Dia disambut sebagai pembebas. Di Kaimana, banyak masyarakat pendukung Indonesia. Hamzah Furu, Kepala Kampung Seraran, ikut membantu pasukan penerjun payung pimpinan Untung.
Hamzah, juga merangkap Wakil Komandan GRIB. Hamzah jadi penghubung Pasukan Gagak dengan masyarakat di Teluk Arguni. Dia memobilisasi orang kampung. Menyediakan perahu untuk mengangkut tentara Indonesia. Hamzah Furu bersama Abdullah Werfete, juga membantu penyusupan dan penerjunan pasukan-pasukan TNI lainnya dari Teluk Arguni sampai dengan Teluk Etna.
Mereka memberitahukan sandi kapal-kapal atau perahu-perahu yang mengangkut pasukan TNI, membawa bendera bertulis “Aray”. Artinya “Ipar”. Masyarakat setempat mengumpulkan hasil kebun seperti sagu, keladi dan pisang untuk pasukan payung. Bahkan, masyarakat membawakan peralatan-peralatan tentara termasuk peluru. Dari Kampung Seraran, mereka bergerak turun sampai ke Siser I. Mayor Untung Syamsuri membangun basis pertahanannya di Kampung Sisir.
Mantan pegawai telekomunikasi Belanda di Biak, Abdul Qodir Kurita berkisah, informasi penerjunan pasukan Trikora di Teluk Arguni, sebenarnya sudah diendus oleh Belanda. Stasiun Telekomunikasi Jayapura, juga menyampaikan tentang penerjunan pasukan payung di sekitar danau Siwiki dan danau Karara di Teluk Arguni. Akibatnya, sebagian pasukan Trikora tertangkap atau tertembak mati oleh tentara Belanda. Menurut catatan resmi pasukan khas TNI-AU, jumlah total personel dari TNI, Polri dan relawan yang terlibat selama Trikora adalah 1.419 personel. Sebanyak 216 orang gugur atau hilang. 296 orang tertangkap.
Prof. Cahyo Pamungkas dalam bukunya berjudul “Sejarah Lisan Integrasi Papua ke Indonesia: Pengalaman Orang Kaimana pada Masa Trikora dan Pepera”, banyak menyebutkan kesaksian para saksi mata dan pelaku sejarah terkait Operasi Jatayu di Kaimana. Peneliti pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini BRIN) itu mendedah dengan detil pandangan saksi mata.
Penanggung jawab seluruh operasi penerjunan payung itu adalah Panglima Angkatan Udara Mandala, Komodor Leo Wattimena. Martinus Naguasai, tokoh masyarakat Forumajaya menyebut, sasaran penerjunan pasukan Trikora di Kaimana adalah di Pasir Putih (20 km dari Kaimana Kota) dan Tofromi (dekat Sisir, Kaimana).
Menurutnya, untuk menangkal penerjunan tersebut, Tentara Belanda membagikan senjata api ke tokoh-tokoh masyarakat kampung, untuk melawan tentara Indonesia.
Dua anggota pasukan TNI tertembak, pada saat menokok sagu di Esetna. Itu karena penduduk setempat melapor kepada Pejabat berwenang lokal (Hoofd van Platselijk Bestuur) Kaimana. Belanda langsung mengirimkan pasukan dan menembak mati kedua serdadu Indonesia itu.
KESAKSIAN SAKSI MATA DAN PELAKU SEJARAH DI KAIAMANA
Oktavianus Safara, saksi sejarah dari Kampung Morano memiliki cerita berbeda. Menurutnya pernah ada operasi penyerangan TNI terhadap pos Belanda di kampungnya. Pos itu dijaga ratusan tentara Belanda dan orang Papua. Tentara Indonesia ragu menembak. Karena lawan yang dihadapi ialah orang Papua. Konon, Presiden Soekarno melarang para tentara Indonesia menembak orang Papua. Karena dianggap sesama saudara dan bagian dari Indonesia.
Dipan Werfete, seorang saksi sejarah dari Kampung Gusimawa, Teluk Arguni, menceritakan pasukan payung yang diterjunkan di Kaimana mendapat tembakan dari tentara Belanda. Tetapi karena malam hari, tembakan mereka tidak ada yang mengenai sasaran. Setelah itu, tentara dan polisi Belanda mempersiapkan persenjataan lengkap. Termasuk meriam-meriam di sepanjang pantai dari Pasir Putih sampai Coa.
Pada waktu malam, pasukan Indonesia turun menyerang pangkalan Belanda. Belanda menempatkan polisi dan Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) atau korps relawan yang terdiri orang Papua di garis terdepan.
Tapi cerita tentang orang Papua yang jadi polisi Belanda dan membunuh tentara Indonesia, dibantah oleh saksi sejarah Teriyanus Kotipura, mantan Mobile Police.
Dia mengaku turut menangkap pasukan Trikora di beberapa tempat seperti di Karora, Berari, Seraran, Sisir, dan Tanggaromi. Tapi pihaknya mengklaim tidak menembak tentara Indonesia. Sebab ada instruksi dari pemerintah Belanda, tidak menembak pasukan Indonesia, jika mereka tidak melawan dengan tembakan.
Sejauh ingatannya, tidak ada tentara Indonesia yang ditembak Polisi Belanda, kecuali salah seorang anggota tentara Indonesia yang terjun di Faranyau yang patah kakinya saat mendarat karena terbentur oleh pohon melinjo. Sedangkan satunya lagi, ditembak oleh komandannya sendiri, Letnan Heru Sisnodo.
JEJAK BAIK UNTUNG DI KAIMANA, IKATAN EMOSIONAL DENGAN SUKU KOTA SENJA
ada 1962 itu, Mayor Untung pulang kembali ke Jawa. Dia juga membawa anak Hamzah Furu bernama Abdullah Furu. Anak Kaimana itu dia sekolahkan sejak SD hingga SMA di Semarang. Adalah H. Daluh Sinam, seorang perwira penghubung di Kaimana yang menyarankan Mayor Untung, agar mengambil anak itu untuk disekolahkan.
Hamzah Furu adalah Kepala Kampung Seraran, merangkap Wakil Komandan Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB) yang ikut membantu pasukan penerjun payung pimpinan Untung. “Hal ini yang membedakan Mayor Untung dengan para perwira TNI lainnya, sekaligus menunjukkan orientasi politik Mayor Untung sebagai seorang nasionalis yang mencoba membangun representasi ke-Indonesiaan di Papua,” tulis Prof. Cahyo Pamungkas, dalam risetnya itu.
Dalam catatan resmi Pemerintah Indonesia, peran Mayor Untung dalam operasi penerjunannya di Kaimana tidak disebutkan secara spesifik. Orde Baru kelihatannya hendak menghapus memori rakyat Indonesia terhadap tokoh-tokoh yang dianggap “terlibat G 30 S/PKI.” Jasa Untung terhadap negara seolah ikut dihapus.
Tapi dalam sejarah lisan orang Kaimana dan Teluk Arguni, Untung disebut-sebut. Seorang pelaku sejarah, Abdul Mat Puarada mengaku memikiki kesan baik terhadap Mayor Untung Syamsuri. “Waktu itu, Mayor Untung sangat baik, sangat ramah. Mereka mendarat di Lembah Siviki antara Gunung Genova dan Gunung Fuji di Teluk Arguni.” kesan Mat.
Mengapa sebagian orang kampung Teluk Arguni semangat membantu TNI kala itu? Jawabannya ternyata beragam. Ada yang yakin, itu rekayasa politik. Ada yang percaya, itu terkait mitos kebudayaan Gunung Nabi yang dipercayai orang-orang Teluk Arguni. Ini dapat diketahui dari kisah lokal mengenai sosok kakak-beradik Matutu dan Tugal.
erspektif politik datang dari Thaha M. Al Hamid, sekretaris Presidium Dewan Papua yang juga putra Kaimana. Menurutnya, orang-orang dari Teluk Arguni membantu penerjunan pasukan Payung karena rekayasa politik Indonesia. Thaha yang diwawancarai Cahyo pada 7 Januari 2009, mengatakan genealogi politiknya dapat diendus dari perdebatan antara Soekarno dan Hatta tentang status Papua dalam wilayah Indonesia.
oekarno mengatakan bahwa seluruh bekas jajahan Belanda ialah termasuk Papua. Namun, Hatta berpendapat bahwa orang Papua ialah Melanesia dan memiliki hak untuk merdeka karena takut Indonesia akan dituduh sebagai negara imperialis. Perspektif yang dikemukakan Thaha, menurut Cahyo, tak lepas dari pandangan politiknya.
JEJAK MAYOR UNTUNG DI KAIMANA HINGGA AKHIR HIDUPNYA
Oktober 1962 United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) alias Pemerintahan Eksekutif Sementara yang dibentuk PBB mulai melaksanakan tugasnya mengembalikan pemerintahan di Itian Barat dari Belanda ke Indonesia. Ini sesuai dengan hasil Resolusi No. 1752 yang diadopsi dari The New York Agreement.
Oleh sebab itu, pasukan yang sebelumnya ditugaskan di Irian Barat kemudian secara bertahap mulai ditarik kembali ke markas asalnya. Tidak terkecuali dengan Mayor Untung dan teman-temannya. Untung kemudian menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang.
Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II. Kelak dalam peristiwa G 30 S/PKI, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah gagal dalam kudeta 30 September 1965, Untung Sutopo kemudian melarikan diri dan tanpa sengaja tertangkap di Brebes. Dua orang Armed yang menangkapnya tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah pimpinan peristiwa itu. Setelah diperiksa di markas CPM, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung.
Setelah melalui sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1966, setahun setelah G 30 S/PKI meletus. Jejak Untung dari seorang patriot pembela rakyat, kemudian dicitrakan sebagai sosok pengkhianat. Suatu sebutan yang masih berlangsung hingga saat ini, setelah 57 tahun kemudian. Tetapi, Untung masih sempat meneriakkan kata-kata terakhir saat peluru dari tim eksekutor menembus dadanya, “Hidup Bung Karno!” []
Catatan:
Selesai disusun pada Jumat, 30 September 2022 pukul 23:45 WIT di RDM Jang-e-Muqaddas, Arfai, Manokwari, Papua Barat.
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Ikon Prestasi Pancasila 2021
Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan
Related Posts
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
No Responses