Masroor Library – Selama 11 bulan ditugaskan di Papua Barat, Penulis sudah 21 kali mengunjungi Kampung Wedoni, Distrik Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan. Kunjungan itu merupakan kunjungan rutin bulanan pada minggu kedua dan kunjungan terprogram lainnya. Dalam sebulan bisa dua bahkan tiga kali kunjungan ke sana. Tiap kali kunjungan, kadang menginap hingga dua atau tiga malam lamanya.
Di Kampung Wedoni itulah tinggal empat kepala keluarga (KK) anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Mereka terdiri dari anggota yang berasal dari Cianjur (Jawa Barat) dan Buton (Sulawesi Tenggara). Totalnya ada sebanyak 12 orang anggota. Sejak Januari 2021 lalu, JAI Manokwari Selatan menjadi binaan Mubalig Lokal Mln. Basyiruddin Aziz. Sebelumnya dipegang langsung oleh Mubalig Daerah Papua Barat.
Kampung Wedoni yang terletak di pesisir pantai itu dihuni oleh sekitar 100-150 orang. Selain yang dianggap pribumi atau orang asli Papua (OAP) juga pendatang dari Jawa dan Sulawesi serta tempat lainnya. Ada kelompok Manado, ada kelompok Sunda, ada kelompok Buton dan lainnya. Saat ini ada tiga warung (pondok) di Kampung Wedoni.
Kampung Wedoni berbatasan langsung dengan Kampung Wariari (di sebelah Selatan) dan Kampung Ukembousi (di sebelah Utara). Di sebelah Timur adalah lautan lepas dimana Pulau Biak-Numfor berada. Sedangkan sebelah Barat merupakan hutan lebat dan bebukitan. Menurut info, di sanalah awalnya orang-orang Wedoni tinggal. Namanya Kampung Anyawi, yaitu kampung lama mereka.
Tidak jauh dari sana, ada Kampung Wandoki yang terletak setelah Kampung Wariari. Begitu juga di sebelah Utara ada Kampung Warami dan Kampung Persiapan Watergam. Bagi yang mengetahui sejarah, Wandoki dan Watergam memiliki hubungan yang khusus dengan Kampung Wedoni, sebab dari sejarah masa lalu, ada hubungan yang erat. Suku Biak, Suku Hatam dan Patani Gebe memiliki hubungan masa lalu yang erat.
Mengenal Suku Asli Papua di Wedoni
Suku asli Papua yang ada di Kampung Wedoni adalah Suku Biak bermarga Mandowen. Mandowen artinya “turun”. Memang pada kenyataannya, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Mandowen aslinya berasal dari Pulau Biak. Bila ditarik garis lurus, memang Wedoni dan Pulau Biak berada di satu garis.
Karena pernikahan, mulai terjalin hubungan kekerabatan. Suku Biak di Wedoni adalah pendatang, sebab suku asli yang menguasai kawasan di sana sebenarnya adalah Suku Hatam. Suku ini merupakan penduduk asli Manokwari Selatan. Saat ini Kepala Suku Wedoni (bermarga Mandowen) dan Kepala Suku Wandoki (bermarga Waran) menjalin hubungan dengan menikahkan anak-anak mereka.
Menurut informasi valid, sebenarnya Suku Biak di Wedoni awalnya diberikan lokasi (petuanan) oleh Kepala Suku Hatam bermarga Waran. Tetapi ada informasi lain yang mengatakan bahwa, Kepala Suku Biak bermarga Mandowen sekarang sebenarnya adalah anak piara dari Kepala Suku Hatam yang di Wandoki. Yang jelas, kedua informasi ini tidak saling bertentangan bahkan saling menguatkan.
Diterima informasi juga dari teman yang juga Kepala SMP 2 Manokwari dan berasal dari Suku Biak bermarga Pondajar (Pondayar), bahwa sebenarnya orang-orang Biak di Kampung Wedoni itu adalah Manbri (dibaca: Mambri) Suku Biak. Bila info itu benar, maka manbri yang dimaksud adalah Kamasan atau Panglima Perang yang dikenal sebagai Kurabesi/Gurabesi. Artinya, mereka bertugas menjaga kawasan Pantai Wedoni, sebab dari sinilah juga pintu masuk ke Pulau Biak dan sekitarnya.
Kurabesi / Gurabesi di Tanah Papua
Sejak abad kelima belas, mulai dikenal nama atau istilah Kurabesi atau Gurabesi. Awalnya, nama atau istilah ini adalah gelar yang diberikan oleh Kesultanan Tidore kepada orang-orang Papua (terutama dari Suku Biak) yang telah membantu Kesultanan Tidore. Biasanya mereka menjadi prajurit atau panglima perang kesultanan.
Untuk di Tanah Papua, khususnya nama Kurabesi/Gurabesi dikatakan berasal dari bahasa Biak. Artinya, kami (dua orang) berjalan kembali kepada mereka (Kura: kami [berdua] berjalan, Besi: kami [berdua] kembali kepada mereka). Nama aslinya adalah Sekfamberi (Sekpum) dan berasal dari daerah Korem di Biak Utara.
Menurut kisahnya, Sekpum adalah putra Insundi dan menjadi seorang Manbri alias Panglima Perang yang sudah dikenali ke-manbri-annya sejak kecil. Dialah yang membunuh ular naga (korben) yang menyerang Kampung Korem. Sebelumnya banyak warga yang mengungsi keluar dari Kampung Korem ke Supiori hingga ke Raja Ampat. Atas jasa Sekpum, Kampung Korem kemudian menjadi aman kembali.
Ular naga dan binatang lainnya, sebenarnya adalah suatu pralambang alias simbol dan bukan benar-benar ular naga. Di daerah lain juga terjadi hal yang sama, misalnya di Tanjung Saeroma sekitar Kampung Waetawa di Buru Selatan. Bagaimana Tuturuga (nama kura-kura) menjadi ancaman bagi penduduk desa sehingga diceritakan dalam kisah lisan (kapata). Padahal tuturuga yang dimaksud bukanlah kura-kura sebenarnya melainkan seorang Kapten VOC.
Kisah Kurabesi/Gurabesi juga dapat kita temukan juga dalam tradisi lisan di Suku Biak Beser (Betew) di Waigeo, Raja Ampat. Pinthe alias Pintake, seorang perempuan asal Pulau Waigeo hamil diluar nikah dan kemudian diusir dari sana. Bersama dengan orang-orang Biak, Pintake akhirnya naik perahu ke arah Teluk Cendrawasih dan tiba di Waropen. Disanalah Pinthe melahirkan seorang anak laki-laki yang dikenal sebagai Kurabesi/Gurabesi.
Karena Kurabesi ada masalah pernikahan yang diluar hukum adat setempat, oleh ibunya dia diminta menemui paman-pamannya di Kampung Waigeo, Raja Ampat. Disanalah kemudian putra Pintake itu semakin dikenal sebagai Kurabesi/Gurabesi. Dia menjadi orang kepercayaan Sultan Tidore IV yaitu Sultan Ciriliati alias Sultan Jamaluddin (1495-1512).
Jejak Kurabesi/Gurabesi tidak dipisahkan dari peran Syahmardan, seorang Ulama dan Kapitan Kesultanan Tidore asal Pulau Patani Gebe yang melakukan perjanjian dengan suku-suku asli Papua sehingga para manbri atau panglima perang alias Kurabesi/Gurabesi itu kemudian membantu Kesultanan Tidore terutama ketika menghadapi Kesultanan Ternate dan juga VOC.
Kapitan Gurabesi di Wedoni
Tidak ada catatan yang jelas, mengenai kapan orang-orang Biak itu mulai menempati lokasi sepanjang pesisir Pantai Wedoni sekarang. Begitu juga mengenai apakah memang mereka sengaja ditugaskan sebagai manbri disana. Namun, keberadaan mereka di Wedoni diperkirakan memang sudah beberapa generasi.
Hal ini ditandai dengan berdirinya Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) Solavide yang bersebelahan saja dengan Balai Kampung Wedoni. Sayangnya belum diperoleh catatan resmi kapan gereja itu mula pertama dibangun: apakah pada masa Ottow-Geissler ataukah di masa belakangan.
Bila pada masa belakangan artinya, orang-orang Biak di Wedoni itu sebelumnya telah memeluk agama Kristen. Sebab pekabaran Injil di Manokwari Selatan diperkirakan terjadi baru satu abad yang lalu alias tiga generasi. Ini ditandai dengan berbagai prasasti yang dibangun di sekitar lokasi pendaratan para pekabar Injil tersebut.
Ciri keturunan Kurabesi/Gurabesi biasanya juga ditandai dengan kemampuan pande besi yang oleh bahasa setempat disebut sebagai Kamasan. Sayangnya, hingga kini belum ditemukan tanur kuno tempat pembuatan senjata itu di Wedoni. Tetapi, untuk di Manokwari, diperkirakan pada awal abad ke-20 sudah mulai ada pembuatan golok, pedang dan mata tombak/panah di Manokwari. Meskipun pembuatnya bukan asli orang Papua melainkan para pendatang khususnya dari Bugis dan Buton.
Untuk di Kampung Acemo, memang jejak Kamasan atau pande besi lokal itu bisa diketahui sampai kini. Kampung Acemo adalah kampung asli suku Papua yang sejak dulu dikenal banyak pande besi disana. Lokasinya terbilang dekat dengan Kampung Wedoni. Pada masa dulu sebelum jalan lintas dibangun, bila dengan jalan kaki hanya perlu waktu seharian saja untuk tiba disana dari Wedoni lewat pesisir pantai.
Jejak hasil kamasan di Wedoni bisa dijumpai di beberapa lokasi. Saat melihat lokasi tanah aset Jemaat seluas 2 hektar di Wedoni, penulis sendiri menemukan sebuah mata tombak yang sudah berkarat. Mata tombak ini meskipun belum lama dibuat namun membuktikan bahwa di sekitar sana ada pande besi atau kamasan.
Jenis mata tombak di Papua sama dengan jenis mata tombak di Maluku. Secara mudah dapat dikenali, apakah itu untuk berburu hewan ataukah untuk berperang. Yang membedakan hanya pada bagian ujung: bila runcing berarti untuk berburu hewan, bila memiliki bentuk seperti pancing maka itu untuk berperang.
Prospek Islam di Wedoni
Perkembangan Islam di Wedoni sebenarnya cukup prospek. Selain dari para pendatang yang merupakan muslim dari berbagai suku dan daerah juga dari suku asli Papua sendiri. Seperti dituliskan di awal, di Wedoni dan sekitarnya ada suku Jawa, Sunda, Bugis, Manado dan Ternate. Mayoritas adalah beragama Islam.
Bila menelisik melalui sejarah, maka Kampung Wedoni sebenarnya ada kaitan dengan Kesultanan Tidore. Sebab, bila dipastikan mereka adalah keturunan Gurabesi, artinya dulunya adalah muslim. Mereka adalah pendukung Kesultanan Tidore. Hanya karena ada pekabaran Injil kesana, maka mereka kemudian menjadi Kristen.
Begitu juga Kampung Watergam (Warami-Ternate-Gamalama) di dekat sana. Mereka semua berasal dari Pulau Halmahera di Patani Gebe. Bila di Watergam saja jumlah mereka ada 110 KK, artinya satu kampung persiapan itu ke depannya akan memiliki penduduk sekitar 400 orang.
Perlu upaya terukur untuk menggarap Kampung Wedoni dan sekitarnya. Pendekatan sejarah bisa menjadi pintu masuk untuk rabtah dan pertabligan. Sebab, ketika berbicara mengenai kejayaan masa lalu, mereka akan tampak bangga. []
Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat
Selesai ditulis pada Ahad, 13 Juni 2021 pkl. 08:08 WIT di Rumah Missi (Kontrakan) Mubalig Daerah Papua Barat di depan gerbang KODAM XVIII/Kasuari, Arfai, Manokwari, Papua Barat.
Related Posts
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
No Responses