Hari Pembebasan Irian Barat yang Mulai Terlupakan

Hari Pembebasan Irian Barat yang Mulai Terlupakan

“Sosok Mayor Johannes Abraham Dimara (16 April 1916-20 Oktober 2000) sangat menginspirasi Presiden Soekarno saat demonstrasi menuntut pembebasan Irian Barat dalam ulang tahun ke-17 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1962 di depan Istana Merdeka Jakarta. Sosok pejuang itu namanya kini diabadikan menjadi nama rumah Sakit KODIM 1801/Manokwari dan Pangkalan TNI AU di Merauke.”

Mayor Johannes Abraham Dimara: Inspirator Tugu Pembebasan Irian Barat

Sosok Mayor Johannes Abraham Dimara (16 April 1916-20 Oktober 2000) sangat menginspirasi Presiden Soekarno saat demonstrasi menuntut pembebasan Irian Barat dalam ulang tahun ke-17 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1962 di depan Istana Merdeka Jakarta. Sosok pejuang itu namanya kini diabadikan menjadi nama rumah Sakit KODIM 1801/Manokwari dan Pangkalan TNI AU di Merauke.

Dalam demonstrasi itu, J.A. Dimara mengenakan rantai yang kemudian dipotong sebelum menyampaikan orasinya. Hal ini ditulis oleh S. Dian Andriyanto dalam Tempo.co pada 20 Oktober 2021 berjudul “Soekarno Mengagumi J.A. Dimara Asal Papua, Ide Patung Pembebasan Irian Barat” (diakses pada 30 April 2023). Tanggal 20 Oktober merupakan tanggal kewafatan Dimara, tepatnya 20 Oktober 2000. Sepuluh tahun setelah kewafatannya, Dimara ditetapkan sebagai Pahlawan (11 November 2010).

Sukarno terinspirasi momen tersebut dan menginginkan sebuah monumen dibuat, ia kemudian meminta Henk Ngantung untuk membuat sketsa patungnya. Henk Ngantung adalah seorang pelukis dan gubernur DKI Jakarta pada tahun 1964–1965. Saat mendesain patung, Henk terus menerima koreksi dari Soekarno. Akhirnya, Soekarno menggambar sendiri desain tersebut. Desain itu kemudian dijadikan sebagai patokan dalam membuat patung.

Figur patung terlihat sebagai seorang lelaki bertelanjang dada berdiri agak condong ke belakang, kedua kaki merentang, dan tangan terentang ke atas memutuskan rantai. Komposisi statis digoyang oleh rantai yang putus. Mulutnya terbuka lebar seolah-olah meneriakkan kata merdeka. Monumen ini menggambarkan seseorang yang berhasil melepaskan belenggu kolonialisme Belanda.

Sejarah Pembebasan Irian Barat

Untuk pembebasan Irian Barat, Soekarno pun mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Sesuai namanya, TRIKORA berisikan tiga hal yang menjadi tujuannya. Yaitu (1) Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buatan Belanda, (2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat dan (3) Tanah Air Indonesia bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Sejak 19 Desember 1961 hingga 15 Agustus 1962, dilakukan Operasi TRIKORA dengan konfrontasi senjata. Tercatat berbagai operasi Mandala dengan nama sandi dan gugus tugas berbeda-beda dilakukan di Papua. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala memimpin berbagai operasi tersebut, dibantu oleh matra lainnya. Untuk keperluan senjata, Jenderal A.H. Nasution juga melakukan pembelian ke Amerika meskipun gagal dan akhirnya membeli dari Uni Sovyet.

Operasi Jatayu dan Operasi Serigala serta Operasi Naga pun dilakukan pada masa TRIKORA. Operasi Jatayu dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu gugus sandi Elang, Gagak dan Alap-alap. Operasi Jatayu merupakan operasi pamungkas untuk membebaskan Irian Barat. Gugus sandi Elang diterjunkan di Klamono, Gagak di Kaimana dan Merauke dan Alap-alap di Merauke untuk memperkuat Operasi Naga yang sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya.

Setelah fase konfrontasi senjata, akhirnya dimulailah babak baru perundingan antara Indonesia dan Belanda. Dalam perundingan di New York, J.A. Dimara pun tercatat menjadi salah satu delegasi yang mewakili Indonesia. Hasil dari perundingan itu, kekuasan di Irian Barat diserahkan sementara kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) sebelum diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.

UNTEA yang berada di bawah Sekjen PBB kemudian melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau Free of Choice oleh rakyat Irian Barat sendiri. PEPERA dilaksanakan secara bertahap di beberapa kota di Irian Barat dan berlangsung secara berkesinambungan dari satu kota ke kota lain.

Mula-mula di Merauke, 14 Juli 1969, dengan 175 orang, lalu Jayawijaya, 16 Juli, dengan 175 orang, lalu Paniai (175 orang) pada 19 Juli, Fak-fak (75 orang) pada 23 Juli, Sorong (109 orang) pada 26 Juli, Manokwari (75 orang) pada 29 Juli, Teluk Cenderawasih (131 orang) pada 31 Juli serta Jayapura (110 orang) pada 2 Agustus 1969.

Bila dijumlahkan peserta yang memberikan hak suaranya, maka seluruhnya ada 1.025 orang. Salikin Soemowardojo dalam buku Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat, terbitan Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat 1969 juga menulis bahwa dari 1.025 orang tersebut, tidak semua wakil rakyat Papua hadir saat Pepera. Di Merauke, Paniai, Teluk Cenderawasih dan Jayapura, masing-masing ada satu orang tidak hadir.

Sosok Rokoh PEPERA dan Keturunannya yang Diberkati Tuhan

Bila mencermati daftar rakyat Irian Barat yang memberikan hak suaranya dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), ada beberapa nama yang Penulis pernah menziarahi makamnya atau berjumpa dengan keturunannya. Pada makam mereka tercantum keterangan bahwa mereka adalah Tokoh PEPERA. Di antara mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda: Raja, Pendeta, Tokoh Pendidik, Tokoh Adat dan lainnya.

Namun, terkadang nomor urut nama mereka dalam daftar itu berbeda. Sebab, daftar PEPERA ada perbedaan antara tulisan Salikin Soemowardojo dengan tulisan karya Tarmidzy Thamrin dalam buku Boven Digul: Lambang Perlawanan terhadap Kolonialisme (2001). Bila Salikin mencatat jumlah sebanyak 1.025 orang, maka Tarmidzy mencatat 1.026 orang.

Dari Manokwari, salah satunya ada nama Lodewijk Mandatjan. Nama ini tercantum dalam nomor urut 36. Penulis telah berjumpa dengan keturunannya, yaitu Drs. Dominggus Mandacan, M.Si. yang merupakan Gubernur Papua Barat 2017-2022 dan sebagai Kepala Suku Besar Arfak. Penulis pernah menghadiahkan tiga buah foto Lodewijk Mandatjan (11 Januari 1967) kepada putranya tersebut.

Nama berikutnya dari Manokwari adalah Jan Wanggai dalam nomor urut 71. Jan Wanggai merupakan ayahanda dari Dr. Toni Victor Mandawiri Wanggai, M.A., Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua di Jayapura. Penulis pun telah berjumpa dengan keturunan tokoh PEPERA itu di rumahnya di kawasan Dok 9, Jayapura pada Mei 2022.

Sedangkan dari wilayah Sorong ada nama Abraham Kambuaja dengan nomor urut 830. Abraham Kambuaja atau Raja Bobor Hwainthake Abraham Kambuaja merupakan tokoh PEPERA yang juga dikenal sebagai Raja di Ayamaru, Maybrat dan Tokoh Pembangunan. Penulis telah berziarah ke makam sahabat Kontrolir Belanda Jan Massink itu pada Juni 2022 lalu.

No Responses

Tinggalkan Balasan