Haji Mohamad Misbach | Sosok ‘Kiri’ Tokoh Pergerakan RI Yang Diasingkan Belanda ke Manokwari

Haji Mohamad Misbach | Sosok ‘Kiri’ Tokoh Pergerakan RI Yang Diasingkan Belanda ke Manokwari
"Mengenang Haji Misbach, karenanya, menyadarkan kembali bahwa kita tak perlu takut terhadap Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih, harusnya kita mengapresiasinya karena perannya yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam: membebaskan masyarakat tertindas. Wallahu a’lam."

Masroor Library – Nama Haji Misbach sesayup terdengar sampai. Saat penelusuran jejak Sejarah Islam di Papua Barat, khususnya di Manokwari, nama itu muncul kembali.

“Menurut info, makamnya ada di suatu lokasi dataran tinggi di Manokwari,” kata Dr. Mulyadi Djaya, Ketua PW Muhammadiyah Provinsi Papua Barat dalam suatu kesempatan mengantarkan penulis kembali ke rumah.

Waktu itu Ketua Dewan Pertimbangan Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua Barat itu sedang mengantarkan penulis kembali ke rumah missi usai acara presentasi Jejak Sejarah Islam di Kantor MUI Provinsi. Di sela-sela obrolan lainnya, Dr. Mulyadi menyinggung sosok Haji Misbach sebagai tokoh pergerakan yang dibuang Belanda ke Manokwari, Papua Barat.

Rasa penasaran menyebabkan penulis ingin mengenal sosok Haji Misbach tersebut. Melalui penelusuran referensi lama dan baru, akhirnya banyak data yang diperoleh. Termasuk, lokasi makamnya yang disebutkan berada di komplek Pemakaman Kuno Penindi, Manokwari. Setelah beberapa kali rekonstruksi lokasi, akhirnya diperoleh titik koordinat yang pasti.

Menelusuri Makam Haji Misbach

Berbekal beberapa informasi, Rabu (30/6) siang, penulis meluncur ke lokasi. Diantar ojek asal Probolinggo yang tinggal di Marampa Sowi 3, penulis menuju ke pusat kota di Jalan Merdeka. Petunjuknya menyebutkan lokasinya sekarang kemungkinan berada di sekitar kawasan Jalan Merdeka. Hanya ada satu pemakaman kuno di sekitar sini: Pemakaman Kuno Belanda dan China.

Setelah masuk melalui jalan setapak yang menanjak, akhirnya komplek makam itupun ditemukan. Kondisi pemakaman kuno Penindi (Fanindi) itu kondisinya sudah memprihatinkan. Perumahan penduduk sudah merangsek masuk ke dalam. Di beberapa tempat tampak makam-makam itu telah tertimbun tanah, sebagian lagi masih utuh namun kondisinya juga tidak terlalu bagus.

Begitu melihat suatu bangunan beratap genting baja ringan, penulis langsung menyatakan bahwa itulah lokasi makamnya. Makam itu sudah dipugar dan dikelilingi tembok serta diberi atap. Tampak dinding kayu dicat warna merah sedangkan dinding bata berwarna putih: merah-putih! Ini tanda yang jelas, bahwa ini makam sosok nasionalis.

Kini bangunan makam itu berada di bagian bawah, di atasnya ada semacam pondok kayu panjang. Beberapa anak muda sedang serius memainkan gawai di atas pondok itu. Mereka adalah orang asli Papua (OAP). Kelihatannya mereka tinggal di pondok kayu sebelahnya. Ternyata, mereka berasal dari Dataran Isim, Kabupaten Manokwari Selatan. Salah satu marganya adalah Ahoren.

Anomali di Makam Haji Misbach

Pintu teralis besi cungkup makam itupun dibuka. Penulis langsung masuk dan menuju makam di dalamnya. Ternyata ada tiga makam disana: dua makam orang dewasa, satu makam anak kecil. Ada kejanggalan bila dikonfrontasi dengan informasi yang penulis dapatkan. Sebab, menurut salah satu sumber tertulis, ketiga anak Haji Misbach, semuanya diantar pulang kembali ke Jawa, dua bulan setelah ayahnya wafat.

Keanehan lainnya adalah nama pada batu nisan tertulis: Mangoen Dikromo, Meninggal Doenia 29 Maart 1921. Tahun 1921, Haji Misbach masih berada di Jawa. Artinya tidak mungkin itu meninggal di Manokwari, apalagi salah seorang dari anaknya: Suimati (13), Masduki (8) dan Karobet (6). Sebab, mereka sendiri baru tiba di Manokwari pada 7 Agustus 1924. Apalagi batu nisan itu kelihatannya bukan asli dari makam itu, baru disimpan belakangan.

Sedangkan dua makam orang dewasa di sebelahnya, (sementara) dapat dipastikan adalah makam Haji Misbach dan istrinya. Pada batu nisan pertama tertulis kutipan ayat Al-Qur’an dalam huruf Arab: “kullu nafsin dzaaiqatul-mawt” dan tulisan dalam huruf Latin: “Perintis Kemerdekaan RI, H.M. Misbah, Wafat Bulan Desember”. Ini juga ada keanehan lagi. Sebab, Haji Misbach wafat pada 24 Mei 1926 bukan pada bulan Desember.

Berdasarkan pengalaman penulis pada penelitian batu nisan sebelumnya di Maluku, keanehan itu dengan mudah terjawab. Berdasarkan data peristiwa yang sudah dikantongi penulis, pemugaran dan pemberian batu nisan itu dilakukan pada masa Wakil Presiden Adam Malik sekitar tahun 1980. Bahkan, Adam Malik (Wakil Presiden ke-3 [23 Maret 1978-11 Maret 1983]) yang konon memerintahkan pembuatan batu nisan tersebut dan membubuhkan keterangan “Perintis Kemerdekaan RI”.

Tampaknya, penulisan berikutnya –setelah tulisan pada masa Adam Malik itu pudar– terjadi kesalahan. Yang tadinya tertulis Mei 1926 berubah menjadi Desember. Jejak-jejak kesalahan penulisan itu dengan mudah dapat terbaca. Huruf “M” miring berubah menjadi huruf “D”, sedangkan angka 6 berubah menjadi huruf “b” miring.

Mengenal Sosok Haji Misbach

Haji Misbach dilahirkan dengan nama kecil Achmad pada 1876 dari keluarga pedagang batik di Surakarta. Masa kecilnya dihabiskan dengan belajar agama di pesantren, juga pernah bersekolah di sekolah bumiputra Ongko Loro. Selain bahasa Jawa dan Melayu, Haji Misbach juga menguasai bahasa Arab.

Setelah menikah namanya diganti menjadi Darmodiprono. Begitu juga setelah menunaikan ibadah haji, menjadi Haji Mohamad Misbach alias Haji Misbach. Pergaulannya kemudian semakin meluas karena dikenal sebagai mubalig. Apalagi setelah bergabung dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam Surakarta. Haji Misbach pun berkenalan dengan H.O.S. Cokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan dan beberapa sosok lainnya.

Keaktifannya di Indlandsche Journalisten Bond (JIB) menjadikan Haji Misbach akrab dengan Mas Marco Kartodikromo asal Salatiga. Dari sinilah Haji Misbach kemudian mengenal pemikiran Marxisme alias Komunisme yang disebutnya sebagai “Ilmu Komunis”. Kelak, Haji Misbach dikenal sebagai Muslim-Marxis atau Muslim-Komunis alias Muslim-Merah.

Sebenarnya, Haji Misbah adalah seorang muslim putihan alias muslim yang taat dan saleh terhadap agamanya. Oleh sebab itu, ketika ada penistaan terhadap agama Islam oleh kelompok agama lain, maka ia pun bangkit melakukan perlawanan. Tidak tanggung-tanggung, dia mendirikan perkumpulan –dengan tulisan aslinya– Sidik, Amanah, Tableg dan Vathonah (SATV). Dia juga bergabung dengan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) yang dibentuk oleh Cokroaminoto.

Namun, kekecewaannya kemudian muncul ketika melihat organisasi Muhammadiyah justru kendur dengan kasus penistaan agama tersebut. Akhirnya kekecewaan tersebut semakin menumpuk dan mencapai puncaknya. Haji Misbach sendirian menjadi sosok non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apalagi setelah dia mengorganisir massa buruh dan tani sehingga terjadi mogok massal, agitasi dan gangguan ketertiban umum. Beberapa kali Haji Misbach mencicipi dinginnya lantai ‘hotel prodeo’.

Puncaknya pada Juli 1924, Haji Misbach didampingi istri dan ketiga anaknya diasingkan ke Manokwari, Nieuw Guinea Utara, Keresidenan Ambon. Selama 20 hari mereka mengarungi lautan dan singgah di 17 pelabuhan sepanjang Surabaya-Manokwari (Papua). Tepat pada 7 Agustus 1924 mereka pun tiba di Manokwari. Belum ditemukan catatan, dimana mereka ditempatkan saat itu.

Setahun di Manokwari, istri Haji Misbach meninggal karena TBC. Begitu juga Haji Misbach sendiri wafat karena malaria, 24 Mei 1926. Sekelompok kecil anggota Sarekat Rakyat (SR) Manokwari menguburkan Haji Misbach di Pemakaman Kuno Penindi (Fanindi) yang terletak di atas bukit. Komplek kuburan itu sebenarnya adalah komplek kuburan Belanda dan China serta sebagian kuburan Makassar.

Dua bulan setelah Haji Misbach wafat, seorang anggota Sarekat Rakyat (SR) Manokwari mengantar ketiga anak almarhum ke Jawa. Jejak Haji Misbach pun terputus hingga disini. Tidak ada catatan berikutnya yang mengisahkan keturunannya atau aspek lainnya termasuk lokasi tempat tinggalnya selama di Manokwari.

Tantangan Bagi Peneliti

Saat ini tantangan terbesar untuk para peneliti adalah menguak jaringan Haji Misbach selama masa pengasingan di Manokwari. Sebab, meskipun dalam pengasingan, tulisan-tulisannya selalu muncul dalam surat kabar dan jurnalnya di Surakarta, Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Oleh sebab itu, tentu saja ada penghubung yang meloloskan risalah tersebut.

Tantangan berikutnya adalah menguak sejarah berdirinya Muhammadiyah di Maluku. Meskipun Haji Misbach sudah dikeluarkan dari Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah, tetapi berdirinya Muhammadiyah di Maluku justru adalah andil dari Haji Misbach saat itu. Tanpa Haji Misbach, Muhammadiyah di Maluku tidak mungkin bisa berkembang sejak 1924 itu.

Tantangan yang lebih sulit lagi adalah melacak jejak keturunan Haji Misbach yang masih hidup saat ini. Dari ketiga keturunan anaknya –Suimati, Masduki dan Karobet– apakah ada yang pernah mengunjungi pusara buyutnya di Manokwari ini. Informasi terbaru, beberapa tahun lalu, ada keluarganya yang berkunjung ke Manokwari dan membangunkan cungkup makam serta pagar makam itu. Beberapa di antaranya mengenakan hijab panjang berwarna hitam. []

Disusun oleh:
Mln. Dr. R.A. Muhammad Jumaan
Pembina Nasional
Forum Mahasiswa Studi Agama-agama se-Indonesia (FORMASAA-I)
Manokwari, Papua Barat

*) Selesai ditulis di Rumah Missi “Jang-e-Muqaddas” Arfai, Manokwari, Papua Barat pada Kamis, 1 Juli 2021 pkl. 08:45 WIT.

No Responses

Tinggalkan Balasan