Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon

Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
  1. Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (26 jilid),
  2. Pustaka Pararatwan (10 jilid),
  3. Pustaka Carita Parahyangan i Bhumi Jawa Kulwan (4 jilid),
  4. Pustaka Negarakretabhumi (12 jilid) dan
  5. Pustaka Samastabhuwana (17 jilid).

Naskah lainnya adalah terkait dengan agama-agama, salinan prasasti, naskah Jawa kuna, dan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara: Salakanagara, Tarumanagara, Galuh, Pajajaran, Majapahit, Bali, Jenggala-Kediri, Sriwijaya serta widyapustaka (aneka keilmuan) lainnya.

Yang mengherankan, Panitia Pangeran Wangsakerta juga telah melengkapi keperluan bahasa-bahasa dengan Pustaka Sarwwabhasa Mandala (Widyasastra Pradesa) sebanyak 149 jilid. Pustaka ini terdiri dari berbagai macam bahasa di Nusantara dan juga bahasa-bahasa asing.

Untuk bahasa-bahasa asing disebutkan: Bhasa Keling, Bhasa Cina, Bhasa Parsi, Bhasa Masir, Bhasa Banggala, Bhasa Campa, Bhasa Jipang, Bhasa Manila, Bhasa Mongol dan Bhasa Bharat. Sedangkan untuk bahasa-bahasa lokal Nusantara di antaranya adalah Bhasa Samudra, Bhasa Bangka, Bhasa Buwun, Bhasa Gurun, Bhasa Surabhayeki, Bhasa Sembhawa, Bhasa Balidwipa, Bhasa Solot, Bhasa Onin, Bhasa Wandan dan lainnya.

BELAJAR DARI PANITIA “PANGERAN WANGSAKERTA

Mencermati paparan tersebut di atas mengenai Panitia Pangeran Wangsakerta, maka perlu disampaikan disini juga kalimat-kalimat asli dari catatan Pangeran Wangsakerta terkait dengan apa yang dialami dan terjadi dalam Gotrasawala selama 21 tahun tersebut. Sebab, tentu saja setiap program tidak selalunya berjalan dengan mulus dan lancar. Namun, dengan adanya pimpinan yang bertanggung jawab, semuanya akan berjalan lancar.

Dalam salah satu tempat, Pangeran Wangsakerta menulis:

“Karana dinawuhan dening ayahku yata pangeran resmi lawan namasidam panembahan adiningratkusuma / atawa panembahan girilaya ngaran ira waneh ri kala sang rama tatan angemasi // mangkana juga ngwang dinawuhan anerat pustaka de ning sultan banten yata pangeran abudlpatah / lawan pramanaran abhiseka sultan ageng tirtayasa // kumwa juga susunan mataram yata pangeran arya prabhu adi mataram ikang ngaran abhisekanira susuhunan amangkurat mahyuna i mangkana // kumwa juga kweh manih sang pinakadi i bhumi swarnadwipa mwang jawadwipanung mahyuna i mangkana // …”

Pembentukan panitia dan penulisan kitab-kitab tersebut dilakukan karena ternyata ada permintaan dari tiga orang raja, yaitu Sultan Cirebon, Sultan Banten dan Sultan Mataram. Dan, ini merupakan keinginan semua pihak bahwa sejarah raja-raja dan kerajaan itu bisa menjadi babon (pegangan utama) bagi mereka semua. Oleh sebab itu, segala informasi (embaran) harus bisa diterima kebenarannya oleh semua pihak.

“… ri kala manusun iti pustaka / mani nityasa tumemwaken duhka bhara makasopana ning kepwa / mapan hana pantara ning pirang sang mahakawi lawan sang amatya rajya duta bheda / ring mangucaranaken katha mangene nagara nira sowang-sowang jayeng sulaksana …”

Menurut Pangeran Wangsakerta, proses penyusunan kitab-kitab tersebut tidak selalunya berjalan dengan mulus atau lancar. Adakalanya juga menemui hambatan dan kendala. Alasannya, ada beberapa mahakawi yang egois dan berbeda pendapat sehingga hampir-hampir saja terjadi pertengkaran dan perkelahian (_dumadi panatrwanan lawan aridu, meh tan tumemwaken kathekang tatwa_). Ini misalnya terjadi saat mahakawi Jawa dan Sunda memaparkan sejarah menurut persepsi masing-masing. Begitu juga antara Tanjungkute dan utusan Palembang dan mahakawi Ukur.

Namun, sebagai seseorang yang ditugasi dan diberikan wewenang untuk mengatur kelancaran Panitia “Pangeran Wangsakerta” pun harus melakukan tindakan yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Apalagi, Pangeran Wangsakerta dikenal sebagai orang yang banyak membaca kitab dari segala penjuru Nusantara.

“Karana mawi wus akweh mangajya sarwa sastera katha ning Rajyarajya i Bhumi Nusantara mwang makadrewya sarwa pustaka rajyanung angasaraken sira kabeh / mwang juga mami pinaka pangulu nira kabeh / …”

Pangeran Wangsakerta juga menulis:

“Sang dharmadhyaksa ring karasulan / sang dharmadhyaksa ring kawasnawan / sang dharmadhyaksa ring kasogatan / sang dharmadhyaksa ring kasewan / sang dharmadhyaksa ring khongpuce athawa kwam im poce yata sang mahakawi wwang cina sakeng semawis / ateher pirang sang mahakawi / sang gotrasawala sakeng pirang rajya kumwa juga / sang amatya sang duta lawan pranaraja carbon ….”

Berdasarkan catatan ini, artinya, untuk membuat suatu tulisan yang baik diperlukan narasumber yang mumpuni dan ahli (spesialis) di bidangnya masing-masing. Tiap pokok bahasan harus ditangani oleh orang yang ahli di bidangnya. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan tugas dengan sempurna (yatanyan siddha saddhya lawan paripurna).

Lebih lanjut, Pangeran Wangsakerta juga menuliskan:

“Hana pwa pinaka panggwan ing magosti mangalocita mangene panusun mwang panerat / …. / yata i paseban karatwan kasepuhan carbon …”

Para ahli dan narasumber diundang ke Cirebon oleh Sultan Sepuh, Pangeran Samsudin Mertawijaya. Mereka berkumpul di Paseban Keraton Kasepuhan Carbon. Ini menandakan bahwa anggota tim penulisan itu berada di satu tempat untuk menggarap penyusunan atau penerjemahan atau penulisan buku secara bersama-sama.

P E N U T U P

Berdasarkan embaran tersebut di atas, maka berdasarkan Panitia “Pangeran Wangsakerta” untuk menghasilkan karya dengan mutu terbaik terkait penerjemahan atau penulisan kitab-kitab, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Sumber daya manusia alias penerjemah atau penulis adalah memang orang-orang yang ahli dalam bidangnya;

2. Ketua tim harus memiliki keluasan wawasan dan keberanian untuk memutuskan mengenai sesuatu hal terkait tulisan tersebut;

3. Panitia tertentu (sekretariat, administrasi, akomodasi, konsumsi, keamanan) dibentuk untuk membantu kelancaran proses penerjemahan atau penyusunan kitab-kitab tersebut;

4. Tempat kerja untuk menggarap terjemahan atau penulisan buku haruslah tempat yang memang cocok dan mendukung;

5. Referensi terkait penerjemahan harus dipenuhi semaksimal mungkin;

6. Harus memiliki tujuan bersama yaitu sama-sama ingin menghasilkan sesuatu yang berguna bagi khalayak ramai. []

—o0o—

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan

*) Selesai ditulis pada Selasa, 13 Februari 2024 pkl. 18:00 WIB di Griya Carani “DAAR EL-JUMAAN” Bogor, Jawa Barat;
**) Penulis merupakan Naib Principal Bidang Akademik Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia yang juga Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku.

Tags: , , ,

No Responses

Tinggalkan Balasan