Masroor Library – Dalam wacana kepemimpinan dikenal dua jenis pemimpin, yaitu pemimpin formal dan pemimpin non-formal. Pemimpin formal adalah para pemimpin yang diangkat atau dipilih untuk menduduki suatu jabatan resmi didalam struktur organisasi Negara, sedangkan pemimpin non-formal adalah para tokoh panutan yang memiliki kekuatan moral dan pengaruh di masyarakat.
Dalam tradisi Islam, pemimpin formal dikenal dengan istilah umara. Umara merupakan mitra ulama dalam membangun umat. Kehidupan masyarakat dan bangsa yang sejahtra dan di berkati ilahi akan tewujud apabila umara dan ulama menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara benar. Para ulama harus mengamalkan ilmunya dengan ikhlas dan jujur, dan umara harus menjalankan kekuasaan dengan benar dan adil.
Dalam sebuah riwayat dikemukan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Ada dua golongan yang di antara umat manusia, apabila keduanya baik, maka akan baiklah seluruh manusia, dam apabila kedua golongan itu rusak, maka rusak pulalah manusia, yaitu ulama dan umara (penguasa).” (HR Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas).
Kata ulama sudah sangat dikenal dan memasyarakat di dalam kehidupan umat Islam di tanah air kita, menurut bahasa, ulama adalah kata sifat yang berasal dari kata “alim” yang artinya, orang yang mengetahui atau ahli dalam suatu bidang ilmu. Kemudian dari kata sifat di pakai menjadi istilah dan kata nama bagi golongan umat yang mengetahui dan memahami ilmu-ilmu Islam, dinamakan “umara”. Sebagaiman Rasulullah Saw bersabda :
“para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Daud dan Turmizi)
Untuk membangun peradaban umat dibutuhkan kerjasama ulama dan umara sebuah ungkapan klasik yang aslinya berbahasa arab yang mengatakan, ”Agama dengan kekuasaan akan bertambah kuat. Kekuasaan dengan agama akan bertambah bekal.” Dalam pengembangan kerjasama antara ulama dan umara sebagaimana dijelaskan di atas, para ulama harus ditempatkan pada posisi dan kedudukannya sebagai Pembina umat dan pemberi nasihat kepada umara. Tidak ada posisi yang lebih baik bagi sorang ulama, melainkan jika ia dicintai oleh umat dan disegani oleh umara.
Para ulama memiliki misi yang penting, ialah tafaquh fiddien (memahami ajaran Islam secara utuh) serta menyampaikan peringatan dan membimbing umat dengan petunjuk-petunjuk Ilahiyah. Dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan terhadap umat, para ulama harus karakter kepemimpinan (leadership) yang tenang dan arif menghadapi persoalan ulama selalu memberikan pengayoman.
Ulama bukanlah sebuah profesi dalam pengertian yang biasa kita pahami secara umum, ulama adalah sebuah fungsi yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan agama dan umat Islam dimanapun. Ulama tidak menpunyai alasan karena mereka menjalankan tugas dan fungsinya atas dasar tanggung jawabnya kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Ulama sejati, ulama pewaris nabi, harus siap menjadi referensi uamat dalam mengadapi berbagai persoalan. Pengetahuan dan kedudukannya yang terpandang serta memiliki popularitas tidak boleh menyebabkan seorang ulama menempatkan diri di atas “menara gading” sehingga sulit didekati umat. Ulama adalah pelayan umat atau dalam bahasa agama disebut “khadimul Ummah”. Kepentingan dan kemaslahatan umat harus selalu menjadi pertimbangan bagi seorang ulama dalam bertindak dan melangkah.
Untuk itu, selain dituntut memiliki kedalaman ilmu dan pemikiran yang luas tentang masalah keIslaman dan kemasyarakatan, seorang ulama juga harus memiliki kepribadian yang baik serta bersikap istiqamah. Menurut (alm) Buya Hamka “seorang ulama sejati, ulama warastatul anbiya, tidaklah dapat dibeli.” Maksudnya, seorang ulama sejati tidaklah terpengaruh dengan imbalan materi atau kedudukan dalam bersikap atau mengeluarkan fatwa.
Dalam sejarah terdapat banyak contoh para ulama yang beristiqamah dan konsekuen menyuarakan kebenaran Islam.
Demikian ulama yang memperaktikan kerja sama dengan umara, yaitu menjadi penasihat penguasaan Islam dan mereka mampu menunjukan sikaf tegas dengan meninggalkan jabatannya karena penguasa tidak nasihat ulama. Tetapi disamping itu, ada juga ulama yang tidak konsekuen. Di lain pihak, juga ada penguasa yang merangkul ulama untuk kepentingan sesaat dan setelah itu meninggalkannya.
Imam al-Ghajali dalam Ihya Ulumuddin menerangkan tiga macam ulama;
- Mencelakakan dirinya dan mencelakakan orang lain, yaitu ulama yang secara terang-terangan mengejar duniawi dan menghadapkan kepadanya
- Membahagiakan dirinya dan juga orang lain, yaitu ulama yang, melakukan dakwah ilalllah dan mensucikannya lahir dan batin
- Mencelakakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu ulama yang pada lahiriahnya menyeru orang lain kepada akhirat dan mengingatkan supaya tidak diperdaya oleh dunia, sementara dalam batin tujuannya adalah mencari pengaruh.
[goes]
No Responses