Masroor Library – Secara etimologi kata ulama merupakan bentuk jamak dari ‘alim artinya orang yang berilmu. Kata ini terambil dari akar kata ‘alima yang berarti mengetahui secara jelas.Dalam terminologi Al-Quran, ulama bukan hanya mereka yang mendalami ilmu-ilmu agama saja (mutafaqqih fiddiin) melainkan juga mereka yang memiliki ilmu di bidangnya masing-masing.
Hadhrat Muslih Mau’ud RA menjelaskan, ulama adalah mereka yang dikaruniai ilmu dan juga mereka yang takut kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, ilmu itu tidak hanya ilmu agama atau kerohanian semata akan tetapi termasuk pengetahuan hukum alam dan hukum-hukumnya. Hal ini niscaya akan membawa manusia kepada marifat mengenai kekuasaan maha besar Tuhan dan sebagai akibatnya mereka akan merasa kagum dan takzim kepada-Nya (Tafsir Shagir).
Menurut Muhammad Quraish Shihab, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam. Dengan demikian, siapapun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apapun pengetahuan tersebut maka ia dapat disebut ‘alim ataupun ulama (Tafsir Al-Misbah).
Pengetahuan yang dimiliki ulama akan menghasilkan khasyat yakni rasa takut kepada Allah Ta’ala sebagai Pencipta seluruh langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya.
Imam Ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa khasyat adalah rasa takut yang disertai penghormatan yang timbul akibat pengetahuan tentang suatu obyek. Syekh Thahir Ibn Asyur menulis, apabila yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syari’at, sebesar kadar pengetahuan tentang hal tersebut maka sebesar itu pula kadar kekuatan khasyat atau rasa takutnya kepada Allah Ta’ala.
Imam Hasan al-Bashri, sebagaimana dikutip oleh Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, ulama adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala yang Maha Pengasih dan menyukai apa yang disukai oleh Allah Ta’ala serta menghindarkan diri apa yang dimurkai-Nya.
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah Saw menjelaskan ulama itu merupakan pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya). Para nabi tidak mewariskan harta melainkan ilmu. Selanjutnya, didalam masyarakat Indonesia ada beberapa istilah yang berkembang sesuai dengan konteks lokal untuk menyebut ulama. Di Jawa disebut Kyai, di Sunda disebut Ajengan, di Nusa Tenggara Barat (NTB) disebut dengan istilah Tuan Guru, di Aceh disebut dengan Tengku, di Bugis disebut dengan istilah Gurutta dan lain sebagainya.
Ketika Walisongo masih hidup, para ulamanya disebut Sunan atau Susuhunan. Generasi berikutnya merasa segan menggunakan istilah mulia ini, hingga akhirnya hanya menyematkan diri menggunakan nama “Ki Ageng”. Karena generasi pelanjutnya merasa sungkan menggunakan gelar ini, maka mereka mencukupkan diri dengan istilah “Ki Gede”. Generasi setelahnya akhirnya hanya menggunakan nama “Kyai” yang sebelumnya hanya dipakai untuk menyebut nama benda-benda yang dianggap keramat dan dihormati.
Selain itu ada juga beberapa istilah yang kerap saling kontradiksi di masyarakat yaitu, Muballigh, Dai, dan Ulama.
- Muballigh alias penyampai, prosesnya disebut tabligh. Mubaligh hanya menyampaikan pesan, ia tidak terikat dengan apa pun karena hanya menyampaikan saja, maka tidak dibutuhkan kualifikasi individu.
- Dai atau pengajak, obyeknya dakwah. Di sini mulai dibutuhkan kualifikasi individu, sebab ia bukan hanya penyampai pesan melainkan pengajar atau penyeru. Jika muballigh hanya menyampaikan kewajiban shalat maka Dai sudah masuk dalam ranah mengajak orang shalat.
- Ulama adalah seseorang dengan berkualifikasi ‘alim. Ia bukan hanya menyeru dan mengajak melainkan juga melaksanakan apa yang telah disampaikan dan diserukan. Kategori ini lebih bercorak seorang ‘alim di bidang keilmuan agama yang menggunakan tiga pola pendekatan yaitu hikmah (kebijaksanaan), mauidzoh hasanah (keteladanan yang baik), dan mujadalah (debat cara-cara yang terbaik) sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nahl ayat 126.
Hanya saja perlu difahami bahwa tidak semua yang memiliki ilmu bisa disebut ulama, sebab ciri utama seorang ulama adalah yang khasyatillah yaitu orang yang memiliki rasa takut kepada Allah Ta’ala.
KH. A. Mustofa Bisri menuturkan, diantara ciri ulama adalah “Alladzina yandzuruna ila al-ummah bi’ainirrahmah” alias mereka yang melihat umat dengan pandangan kasih sayang. Jiwa pendidik mereka kuat, sebab mereka melihat umat sebagai anak-anaknya yang harus dibimbing dan ditunjukkan ke jalan yang diridhai Allah Swt bukan dengan pandangan seorang penghukum yang melihat umatnya sebagai calon terdakwa. Mereka yang bukan melihat umatnya sebagai calon penduduk neraka, melainkan melihatnya sebagai kandidat penduduk surga. Karena itu dalam pendidikan keummatan mereka bisa menempatkan diri kapan menggunakan pendekatan targhib (motivasi) maupun tarhib (intimidasi) yang berkaitan dengan ajaran Islam.
Semoga tulisan ini bermanfa’at dan lebih memberikan wawasan baru terutama bagi yang belum mengetahuinya, In Syaa Allah.
Wallahu Waliyyut Taufiq
Tangerang Selatan-Banten, 20 April 2020
Disusun : Dendi Ahmad Daud
Sekretaris Ta’limul Quran dan Waqf-e-Arzi PB JAI
Dosen Bahasa dan Sastra Arab Jamiah Ahmadiyah Indonesia
No Responses