Masroor Library – Konsep murtad sebagaimana terjadi dalam agama Kristen abad pertengahan dan seperti yang diuraikan oleh Maulana Maududi, adalah sesuatu yang asing bagi Islam. Tidak ada sebuah katapun untuk ungkapan itu di dalam bahasa Arab. Memang ada beberapa orang fuqaha pada masa awal beranggapan murtad dari agama Islam merupakan sebuah pelanggaran yang berbuntut hukuman mati, tetapi definisi muslim yang mereka buat sedemikian luas sehingga tidak seorangpun yang menyebut dirinya sendiri muslim dapat diberi gelar sebagai seorang murtad. Nabi Muhammad SAW membekali kita dengan dua definisi seorang muslim. Pada waktu sensus pertama di Madinah, beliau bersabda,
“Tuliskan untukku nama setiap orang yang menyebut dirinya sendiri seorang muslim.”
Pada kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang shalat sebagaimana kami shalat dan menghadap ke arah kiblat kami dan makan apa yang kami sembelih adalah seorang muslim; dia adalah dhimmatullah dan zhimmatur Rasul. Jadi jangan menentang dhimmatullah [tanbggung jawab]”
Tetapi Maulana Maududi dan para ulama itu, yang mendukung kediktatoran dan otokrasi di dalam negeri-negeri muslim telah mengimbuhkan beragam kualifikasi pada definisi Rasulullah SAW yang ringkas padat itu. Dalam bahasa Al Ghazali (450-505 / 1058-1113) mereka telah membatasi: “Rahmat Tuhan Yang Maha Luas untuk menjadikan surga terbatas hanya untuk sekelompok kecil faksi ahli agama.” Hasil dari daya upaya mereka telah dirangkum oleh mantan Chief Justice Pakistan, Muhammad Muir yang mengetuai Court of Inquiry atas Kerusuhan yang terjadi di Punjab (Pakistan) pada tahun 1953. Ia berkata;
“Dengan berpedoman bermacan-macam definisi yang diberikan oleh para ulama, apakah kita perlu memberikan tanggapan selain ini, bahwa tidak ditemukan dua orang ulama terpelajar bersepakat dalam hal yang mendasar ini? Jika kita mengupayakan definisi kita sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama yang cendikia dan definisi itu berbeda dari semua yang lain, kita semua jadi keluar dari lingkungan Islam. Jika kita memegang definisi yang diberikan oleh salah seorang ulama, [bersatu] dari [golongan] manapun dia, kita tetap seorang muslim menurut pandangan alim itu, tetapi kafir menurut definisi seluruh ulama yang lain”
Pengamatan Hakim Munir haruslah dipahami dalam kaitannya dengan teguran Rasulullah SAW kepada Usamah bin Zaid, Dalam sebuah serangan Ghalib bin Abdullah Al Kalbi, menurut Ibnu Ishaq satu orang terbunuh oleh Usamah bin Zaid dan yang lainnya. Mengisahkan kejadian ini Usamah bin Zaid berkata;
“Ketika aku dan pemuda Anshar melumpuhkannya dan menyerangnya dengan senjata kami, ia melafalkan kalimah syahadah, tetapi kami tidak menahan tangan kami dan kami membunuhnya. Ketika kami menghadap Rasulullah SAW dan menceritkan kepada beliau kejadian tersebut, beliau bersabda; ‘siapa yang akan mengampuni engkau Usamah, dari mengabaikan pernyataan iman ?’ aku katakan kepada beliau bahwa orang itu telah mengucapkan kalimah semata-mata untuk menghindari maut, tetapi beliau terus mengulang-ulangi pernyataan beliau dan terus melakukan hal itu sampai aku berharap alangkah baiknya seandainya pada waktu itu aku belum muslim dan aku tidak pernah membunuh orang itu. Aku memohon agar beliau memaafkan diriku dan berjanji bahwa aku tidak akan pernah lagi membunuh seseorang yang telah mengucapkan kalimah syahadah. Rasulullah SAW bersabda: ‘Engkau akan mengatakan itu sesudahku (Sesudah kewafatanku), Usamah ? dan aku mengatakan Iya.’ “
Rasulullah SAW mengetahui bahwa meskipun beliau sangat khawatir atas kehidupan orang-orang muslim karena mengucapkan kalimah syahadah, mereka akan tetap dibunuh oleh orang-orang yang diperalat atas nama Islam. Menurut riwayat di dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Rasulullah SAW juga mempertanyakan kepada Usamah apakah ia telah membelah dada orang itu untuk memastikan kebenaran pengakuannya. Namun tetap saja para Ulama yang haus kekuasaan dan menyimpan ambisi politik terus menghasut orang-orang muslim yang lugu untuk membunuh saudara-saudara muslim mereka orang-orang muslim yang pandangan mereka sedikit berbeda dengan pandangan mereka sendiri seolah-olah, setelah membelah dada mereka, mereka menemukan bukti kuat bahwa keimanan mereka adalah palsu.
Berkenaan dengan kemurtadan, Alquran menggunakan kata irtadda, yang maknanya bahwa tidak ada seseorangpun yang berhak menyetakan muslim lainnya sebagai murtad. Sebagaimana Imam Raghib Asfahani menjelaskan, kata irtidad berarti seseorang menyusuri kembali jejaknya sampai pada titik dari mana ia datang. Kata itu khususnya dikaitkan dengan perbuatan murtad berbalik kepada kekufuran setelah menjadi muslim, misalnya, “Ingatlah !Orang-orang yang membalikkan punggung mereka setelah datang petunjuk kepada mereka”(47.26); dan “Barangsiapa dari antara kamu berpaling dari agamanya” (5.55)
Ridda adalah sebuah kata kerja intransitive dan akar katanya radd. Ia tidak memiliki bentuk transitif, seseorang dapat memutuskan untuk murtad, tetapi tidak ada orang lain dapat membuatnya seorang murtad. Ia merupkan tindakan yang dilakukan atas keinginan sendiri dan tidak ada pihak luar yang dapat ikut campur di bagian manapun di dalamnya. Adalah aspek kebebasan nurani ini yang membedakan irtidad dari konsep kemurtadan menurut Kristen dan Maududi, yang kami bahas pada bab terkahir, yakni kemurtdan dan hukumannya membutuhkan otoritas eksternal, gereja atau negara. Ia bagaikan eksekusi atau bahkan pembunuhan. Sementara irtidad adalah bagaikan tindakan bunuh diri. Seseorang dapat menghukum mati atau membunuh tetapi tidak seorangpun dapat membunuh dirikan orang lain.
Surah Al Kafirun diwahyukan pada maa-masa awal kenabian Rasulullah SAW adalah sebuah pernyataan kebijakan langsung dalam persoalan kebebsan hati nurani. Rasulullah SAW diperintahkan untuk memberitahu orang-orang kafir bahwa sama sekali tidak ada titik temu antara cara hidup mereka dan beliau.Karena mereka ada dalam ketidak sepakatan yang penuh, tidak hanya berkenaan dengan pemahaman keagaman yang mendasar, melainkan juga berkenaan dengan rincian dan aspek-aspek lainnya, tidak ada kemungkinan adanya kompromi diantara mereka. Oleh karen aitu, “Bagi kamu agamamu, bagi kami agama kami” (109.6)
Rasulullah SAW juga berulangkali diberi tahu agar jangan khawatir jika seandainya orang-orang kafir tidak bersedia menerima dakwah beliau. Beliau bukan wakil (penjaga) atas mereka. Allah Taala berfirman;
“Orang-orang telah menolak pesan yang telah kami kirimkan melalui engkau, meskipun ini adalah kebenaran. Katakanlah: “Aku tidak ditunjuk sebagai wakil atasmu”.
Pernyataan ini dibuat oleh era Mekkah , ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya menderita penganiayaan. Namun setelah beliau tiba di Madinah, pernyataannya tetap sama, meskipun sekarang beliau memegang kekuasaan. Pada hakikatnya bahkan dinyatakan lebih eksplisit.
Surah Madaniyah yang pertama yang mengandung bahasan kebebasan hati nurani dibahas di dalam surah Al Baqarah. Ayat ke 256 surah ini mengandung pernyataan yang palingh jelas tentang bahasan ini:
“Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya yang haq telah nyata dari yang batil, barang siapa yang menolak untuk dipimpin oleh thagut dan beriman kepada Allah sesungguhnya telah berpegang kepada sebuah pegangan yang kuat yang tidak mengenal putus. Dan Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui.”
Ini adalah pernyataan yang menyakinkan dari seorang nabi yang telah membangun sebuah Ummah di dalam sebuah kota di mana ia memegang kekuasaan tertinggi. Jangan sampai persoalan jihad disalah mengerti, orang-orang muslim diberitah bahwa iman yang benar terletak di dalam amal shaleh dan keimanan yang baik. (168-242) dan Keagungan Tuhan diingatkan di dalam ayat Qursi (225). Firman “Tidak ada paksaan dalam agama” datang segera setelah Ayatul Qursy. Para pembaca Alquran mungkin menyimpan anggapan bahwa Tuhan menghendaki orang-orang muslim untuk menyebarkan Islam melalui kekuatan senjata, karena seruannya untuk memerangi para musuh Ummah dan menyerahkan pengorbanan yang khusus kepada Allah. Jadi ayat-ayat itu memberithukan kepada orang-orang muslim dalam ungkapan yang sangat pasti agar jangan menggunakan kekerasan atas nama dakwah. Inti dari pada ayat ini dapat disimak dari dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Jami Tirmizi. Ia mengatakan bahwa jantungnya Alquran adalah surah Al Baqarah dan setan tidak akan masuk rumah siapa saja yang membaca sepuluh ayat dari surah ini, (yakni empat ayat pertama, ayatul qursi dan dia ayat yang menyertainya 256-257 dan tiga ayat terakhir).
Prinsip tidak ada paksaan ini dinyatakan ulang setelah kemenangan Badr (3.21) dan lagi di dalam surah Al Maidah, yang merupakan surah terakhir yang diwahyukan. Sekarang kekuasaan Muhammad telah tegak sepenuhnya, bukan saja di Madinah melainkan juga di Mekkah, adalah vital untuk menekankan bahwa tugas Rasulullah SAW hanyalah untuk menyampaikan firman Allah. “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan waspadalah , tetapi jika kamu berpaling, maka ingatlah bahwa tugas Rasul kami hanyalah menyampaikan pesan itu dengan sejelas-jelasnya” (5.93) dan akhirnya, “Tugas Rasul hanyalah menyampaikan pesan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan “. (5.100). Keyakinan agama adalah sebuah masalah perseorangan. Hanya Tuhan saja bukan negara atau pemimpin agama yang mengetahui apa yang dizahirkan seseorang kepada Tuhan dan apa yang seseorang sembunyikan di dalam hatinya.
Ayat ini membawa kepada pembahasan tentang kemunafikan. Istilah munafik menggambarkan tentang penduduk Madinah yang secara zahir menerima Islam, tetapi keyakinan mereka diragukan karena beberapa alasan. Terdapat banyak referensi kepada mereka di dalam Alquran, tetapi di dalam empat tempat mereka didefinsikan sebagai murtad. Rujukan pertama ada di dalam surah Muhammad. Ini adalah surah Madaniyah yang secara singkat menjelaskan tujuan peperangan dalam Islam. Surah ini mengatakan bahwa sementara orang-orang berimn menyambut baik wahyu yang menyeru mereka untuk berjihad di jalan Allah, orang-orang munafik merasa seolah-olah mereka sedang digiring ke tempat penjagalan mereka. Dengan cara ini orang-orang mukmin sejati dipisahkan daripada mereka yang keimannya dangkal atau palsu. Selanjutnya ayat ini mengatakan;
“Sesungguhnya orang-orang yang membalikkan punggung mereka (irtddu) setelah petunjuk menjadi jelas kepada mereka, setan telah mempengaruhi mereka dan memberikan harapan-harapan kosong kepada mereka. Hal itu disebabkan karena mereka mengatakan kepada orang-orang yang membenci apa yang telah diwahyukan Allah , ‘kami akan mentaatimu dalam beberapa perkara ‘ dan Allah Maha Mengetahui rahasia-rahasia mereka”. (47:26-27)
Ayat-ayat yang dikutip di atas sama sekali tidak menyinggung hukuman untuk orang-orang ini.
Rujukan selanjutnya kepada orang-orang munafik terdapat di dalam surah Al Munafikun, yang yang diwahyukan menjelang akhir tahun ke 6/626. Surah itu membeberkan arti kemunfikan dan kecurngan kaum munafik dan mencela pengakuan iman mereka sebagai palsu dan tak dapat dipercaya. Ini adalah sebuah teguran terbuka.
“Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu pendusta. Keimanan mereka adalah sebuah kepura-puraan agar mereka dapat membelokkan manusia dari jalan Allah. Betapa buruk apa yang mereka kerjakan. Hal itu disebabkan karena mereka beriman dan setelah itu ingkar, maka hati mereka dicap dan mereka tidak mengetahui………… mereka adalah musuh, maka berhati-hatilah! . . . . sama saja bagi mereka apakah enghkau memohonkan ampun untuk mereka atau tidak. Allah tidak akan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang aniaya.” (63:27)
Dua rujukan terakhir kepada kaum munafik terdapat di dalam satu surah dari surah-surah yang terakhi, At Taubah:
“Tidak perlu mengada-ada alasan, kamu sesungguhnya telah ingkar setelah beriman. Jika Kami mengampuni segolongan dari antara kamu, segolongan akan Kami hukum, karena mereka telah berbuat dosa” (9:66)
Mereka yang akan diampuni tentu saja kaum munafik yang bertobat dan menjadi muslim yang benar. Berkenaan dengan orang-orang yang akan dikenai hukuman, lanjutan ayat itu mengatakan:
“Allah menjanjikan untuk orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang yang ingkar api neraka, mereka akan kekal di dalamnya. Cukuplah itu bagi mereka akan ditimpa azab yang kekal.” (9:68)
Dan akhirnya ;
“Mereka bersumpah atas nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi mereka sungguh telah mengatakan perkataan yang ingkar dan sungguh telah ingkar setelah mereka masuk Islam . . . Maka jika mereka bertobat, hal litu adalah lebih baik bagi mereka, tetapi bila mereka berpaling, Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang pedih di dunia ini dan akhirat kelak. Dan mereka tidak akan memiliki teman maupun penolong di muka bumi.” (9:74)
Rasulullah SAW tahu betul bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul adalah raisul munafiqin, tetapi beliau tidak mengambil tindakan apa-apa terhadapnya. Bahkan sebaliknya, Rasulullah SAW menyembahyangkan jenazahnya ketika ia meninggal. Diriwyatkan bahwa Umar bin Khattab berkata:
“Ketika Rsulullah SAW datang dan berdiri di dekat jazad Abdullah bin Ubay dan akan segera menyembahyangkannya, aku bertanya kepada beliau, ‘Apakah tuan akan menyembahkan musuh Allah?’ Rasulullah SAW tersenyum dan berkata ‘Menyingkirlah hai Umar. Aku telah diberi pilihan dan aku telah memutuskan. Dikatakan kepadaku: Minta ampun untuk mereka atau tidak memintakan ampun. Meskipun engkau memohon ampunan bagi mereka tujuhpuluh kali Tuhan tidak akan mengampuni mereka. Jika aku mengetahui bahwa dengan memohonkan ampunan lebih dari tujuhpuluh kalli maka ia diampuni, aku akan melakukannya’. Kemudian beliau menyembahyangkannya dan menyertai pemakamannya dan menunggu dikuburannya sampai ia selasai dimakamkan.”
Kebebasan untuk berubah pهkiran adalah asam pengguji bagi ‘laa ikraha fid diin’. Hal ini tidak dapat menjadi kebebasan satu arah bebas untuk masuk Islam, tetapi tidak untuk meninggalkannya. Ada sepuluh rujukan langsung kepada menarik pernyataan iman di dalam Alquran: Satu di dalam surah Makkiyah surah An Nahl dan Sembilan lainnya adalah surah-surah Madaniya. Tidak satupun dari ayat-ayatnya sedikitpun isyarat tentang hukuman mati bagi orang-orang yang berbalik meninggalkan Islam.
Satu dari pernyataan Alquran yang sangat spesifik mengenai tindakan murtad adalah ayat ke 14 surah Al Baqarah. Kiblat berubah dari Yerusalem menuju Mekkah pada tahun ke 2 Hijrah. Ibnu Ishaq meriwayatkan:
“Dan pada waktu Kiblat berubah arah dari Syiria ke Ka’bah, Rifaa bin Qais, Qardam bin Amr, Ka’ab bin Asyraf, Rafib Abu Rafi, Al Hajaj bin Amr seorang sekutu Kab, Al Rabi bin ar Rabi bin Abul Huqaiq dan Kinana bin Al Rabi bin bul Huqaiq datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: ‘Mengapa anda berpaling dari Kiblat yang biasa kepadanya anda menghadap padahal anda menyatakan mengikuti agama Ibrahim? Jika anda kembali kepada Kiblat di Yerusalem kami akan ikut dengan anda dan menyatakan bahwa anda benar.’ Tujuan mereka adalah hanya untuk membujuk beliau [untuk berpaling] dari agama beliau. Maka Allah berfirman: ‘Kami yang menetukan Kiblat, yang dahulu kepadanya kalian menghadap, hanya untuk membedakan siapa yang akan mentaati sang Rasul dan orang-orang yang tidak taat untuk menguji dan memisahkan mereka. Sesungguhnya ini adalah ujian yang berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.”
Alquran tidak menentukan hukuman bagi para pembelot ini. Dan sejarah mencatat tak seorangpun mendapat hukuman yang membelot setelah berubahnya Kiblat.
Surah Ali Imran yang diwahyukan setelah kemenangan Badr tahun ke 2 H / 624 M mengandung dua ayat berikut ini yang menyebutkan murtadnya beberapa orang Yahudi di Madinah:
‘Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan dengan sengaja menyembunyikan kebenaran’ (3.72)
‘Dan segolongan Ahli Kitab berkata: ‘Berimanlah kepada apa yang telah diwahyukan kepada orang-orang yang beriman pada pagi hari dan ingkar pada petang hari. Agar meeka berpaling.’ (3.73)
Ibnu Ishaq telah menyebutkan nama-nama orang-orang yang menetaskan rencana ini:
Abdullah bin Sayf dan Adi bin Zaid dan Al Harits bin Auf sepakat untuk berpura-pura beriman kepada pendakwaan Rasulullah SAW dan para sahabatnya pada satu waktu, mendustakannya pada waktu yang lain untuk membuat mereka bingung. Tujannya adalah agar mereka meniru tingkah laku mereka dan meninggalkan agama mereka.
Tak seorangpun dari tiga orang Yahudi ini dijatuhi hukuman.
Rujukan lainnya adalah di dalam surah An Nisa. Dikatakan:
‘Orang-orang yang beriman kemudian ingkar, kemudian beriman lagi, kemudian ingkar dan kemudian bertambah-tambah dalam keingkaran mereka tidak akan pernah diampuni oleh Allah, tidak pula Dia akan membimbing mereka ke jalan yang benar.’ (4.138).
Seorang yang murtad tidak dapat menikmati indahnya beriman dan ingkar seandainya hukumannya adalah mati. Seorang yang telah mati tidak lagi memiliki kesempatan untuk beriman lagi dan ingkar lagi.
Sunnah Pola Rasulullah SAW adalah sumber kedua setelah syariah. Dan di dalam sunnah juga tidak ada hukuman untuk tindakan keluar dar Islam. Nama orang-orang yang dihukum oleh Rasulullah SAW tercatat di dalam sirah dan hadits dan nama orang-orang yang menjadi murtad dan menolak Islam dalam hidupnya juga tersimpan. Seorang arab Badui masuk Islam di tangan Rasulullah SAW dan segera setelah itu ia terserang demam panas di Madinah. Ia meminta Rasulullah SAW agar melepaskannya dari baiatnya. Ia mengajukan permintaan ini sampai tiga kali dan tiga kali pula ditolak. Ia meninggalkan Madinah dengan bebas. Rasulullah SAW mendengar berita keberangkatannya, bersabda: ‘Madinah bagaikan tungku api yang memisahkan karat dar sesuatu yang bersih.’
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa RAsulullah SAW telah memerintahkan para panglima beliau ketika mereka memasuki Makkah untuk memerangi hanya orang-orang yang menyerang mereka. Satu-satunya pengecualian adalah para kriminal berikut ini yang dijatuhi hukuman mati meskipun mereka ditemukan berlindung di dalam kain pembungkus ka’bah/kiswah.
- Abdullah bin Saad bin Abi Sarah
- Abdullah bin Khatal dari Bani Tayim bin Ghalib dan dua orang perempuan penarinya yang biasa menyanyikan lagu-lagu sindiran terhadap Islam.salah satunya adalah Fartana, nama yang lain tidak disebutkan oleh iBnu Ishaq.
- Al Huwairit bin Nuqaidh bin Wahab bin Abd bin Qussay
- Miqyas bin Subabah
- Sarah, budak yang telah dimerdekakan dari suku bani Abdul Muthalib
- Ikrima bin Abu Jahal.
Abdullah bin Saad adalah seorang juru tulis Rasulullah SAW di Madinah. Ia murtad dan menyeberang kepada kaum Kuffar Makkah. Karena ia menuliskan wahyu, yang didiktekan oleh Rasulullah SAW, dan menduduki kedudukan yang terhormat, penyeberangannya pasti akan menciptakan kebingungan dikalangan kaum Quraisyi Makkah tentang keaslian wahyu itu sendiri. Setelah Makkah kembali damai, saudara sepersusuannya, Usman bin Affan mengajukan permohonan kepada Rasulullah SAW atas namanya dan ia kemudian diampuni. Seandainya ada hukum yang ditetapkan Alquran untuk suatau kemurtadan, Rasulullah SAW tentu tidak akan memberikan pengampunan itu. Kebijakan Rasulullah SAW terhadap permohonan melalui perantara berkenaan dengan hukuman hadd jelas digambarkan oleh kejadian wanita Makhzumi yang terbukti bersalah karena mencuri. Ketika Usamah bin Zaid memohon atas namanya, Rasulullah SAW memarahinya dan bersabda: ‘Apakah engkau campur tangan terhadap hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah? Bersaksilah: Seandainya Fatimah binti Muhammad terbukti bersalah karena mencuri, aku pasti akan memotong tangannya.’
Abdullah bin Khaal dikirim oleh Rasulullah untuk memungut zakat, ditemani oleh seorang Anshar yang membantunya. Ketika mereka beristirahat, ia menceritakan kepada temannya itu untuk menyembelih seekor kambing untuknya dan menyiapkan makanan sebelum pergi tidur. Ketika ia terbangun orang itu belum melakukan apa-apa, maka ia membunuhnya dalam keadaan marah kemudian murtad dan melarikan diri kepada Quraisy Makkah. Ia dihukum mati karena membunuh seorang anshar muslim oleh Said bin Huraits al Makhzumi dan Abu Barzh al Aslami.
Salah seorang dari perempuan penyayi Ibnu Khatal dihukum mati karena menimbulkan keresahan dengan melantunkan lag-lagu satiris, sementara yang lainnya diampuni.
Al Huwairits bin Nuqaidz waktu itu sedang dalam kelompok Habbar bin al Aswad bin al Muthalib bin Asad yang membuntuti Rasulullah SAW, Zainab ketika beliau sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Al Huwairits menghalau unta Zainab. Zainab sedang hamil dan mengalami keguguran karena serangan itu dan terpaksa kembali ke Mekkah. Rasulullah SAW mengirimkan sejumlah orang dengan perintah bahwa jika mereka menemukan Habbar bin al Aswad atau Al Huwairits mereka harus membunuhnya, tetapi al Huwairits melarikan diri. Dalam riwayat lain, Hisham berkata bahwa Al Abbas bin Abdul Mutallib membawa Fatimah dan Ummi Kalsum, dua putri Rasulullah SAW dengan seekor unta membawa mereka dari Makkah ke Madinah. Al Huwairits menghalau hewan itu sehingga ia melemparrkan kedua perempuan itu dari punggungnya. Akhirnya Ali membunuhnya di Makkah.
Maqis bin Subabah datang ke Madinah dari Makkah dan berkata: ‘aku datang kepadamu sebagai seorang muslim menuntut balas atas kematian saudaraku, yang dibunuh dengan tanpa hak. Rasulullah SAW memerintahkan agar ia dibayar atas pembunuhan saudaranya, menarik pernyataaan imannya dan menyeberang ke Makkah. Maqis dihukum mati oleh Numailah bin Abdullah karena membunuh seorang anshar, yang atas namanya pembayaran uang darah atas pembunuhan saudaranya telah lunas dibayar.
Sarah yang dituduh menciptakan keonaran tidak dibunuh pada masa hidup Rasulullah SAW.
Ikrimah bin Abu Jahal melarikan diri ke Yaman. Istrinya Ummi Hakim masuk Islam dan meminta pengampunan untuk dirinya dan hal itu dikabulkan oleh Rasulullah SAW.
Gamblang, tidak ada bukti untuk bahwa Rasulullah SAW menghukum seseorang karena Murtad dari Islam.
Judul : Hukum Murtad Dalam Islam
Penulis : Hadhrat Mirza Tahir Ahmad
Sumber : Hal. 4 – 11 Darsus Nmor 02 Jum’at, 25 Radjab 14327 H / 21 Wafa 1385 HS / Juli 2006
Ketik Ulang dan Edit : Bagus Sugiarto
No Responses