Masroor Library – Bendera Merah Putih itu berkibar dengan gagahnya. Hembusan angin kencang membuatnya melambai-lambai dengan mantap. Tiga anak kecil berdiri di bawah tiang bendera yang terbuat dari bambu dicat warna putih. Merekalah yang mengerek bendera itu. Wajah-wajah itu tampak sumringah, bendera itu berkibar dengan gagah. Petugas dirijen dengan semangat memimpin lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Itu adalah sekilas pemandangan pada saat Upacara Bendera dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan (HUT) Republik Indonesia yang ke-75 pada Senin, 17 Agustus 2020. Upacara itu bukan di Istana Negara Merdeka Jakarta atau di Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Barat ataupun di Kantor Pemerintahan Kabupaten Manokwari. Upacara itu juga bukan dihelat oleh orang-orang profesional. Namun semangat Nasionalisme dan Patriotisme mereka layak diacungi jempol.
Amban, tentu tidak setiap orang pernah mendengar nama ini. Amban, tentu saja berbeda dengan Ambon. Bila kata terakhir itu sudah familiar terdengar di telinga kita –sebagai Ibukota Provinsi Maluku– maka kata pertama itu mungkin sangat jarang tercantum dalam tulisan di media masa. Kata Amban kalah jauh dari kata Masohi atau Namlea, di Maluku.
Memang, Amban hanyalah suatu tempat kecil saja di Papua Barat. Kelurahan Amban, Distrik Manokwari Timur, Kabupaten Manokwari ini terletak di luar kota. Lokasinya berada di atas ketinggian. Beberapa kantor atau lembaga yang terdapat di Amban di antaranya Kampus Universitas Papua (UNIPA) dan Asrama Mahasiswa Mansinam. Suatu unjuk rasa pernah terjadi di dua titik di Kelurahan Amban, pada 23 September 2019 silam. Itu terkait sebutan rasialis terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Kata Amban sendiri pernah disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama (ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ꦤꦴꦒꦫꦏꦽꦠꦴꦒꦩ) karya Mpu Prapanca pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, abad ke-14. Namun, kata yang dimaksud, yaitu Ambwan lebih cocok untuk menyebut Ambon di Maluku dan bukannya Amban di Manokwari atau Tanah Papua. Selain kata Ambwan, disebut juga kata Muar, Seran, Wwanin, Timor, Gurun dan Hutan Kandali. Itu disebutkan dalam Pupuh 14, Bait 5.
Ada yang menarik dari Upacara Bendera yang dilaksanakan di Lorong Yacob Mandacan di Amban itu. Pertama, bahwa itu adalah Upacara Bendera yang perdana dilaksanakan di sana. Tentunya, karena perdana, mungkin akan banyak kekeliruan yang terjadi. Namun, bila kita melihat prosesinya, tidak ada kekeliruan yang berarti. Meskipun latihan hanya dilakukan sekali-dua kali saja, mereka –para petugas upacara itu– melaksanakannya dengan baik.
Kedua, petugas dan peserta Upacara Bendera itu terdiri dari aneka suku bangsa. Betul-betul asli berasal dari Suku Buton, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Aceh dan Suku asli Papua dari Suwiga atau Mandacan. Ini semakin mengukuhkan lagi akan ke-Bhinneka-an kita sebagai Indonesia. Janet, misalnya. Anak asli Papua bermarga Suwiga dan Mandacan itu bertindak sebagai dirijen atau istilah lokalnya disebut palu. Begitu juga salah seorang pengibar bendera, berasal dari orang asli Papua.
Ketiga, lokasi Upacara Bendera itu sendiri berada di halaman sebuah Mushala “Ahmad” di Amban yang luasnya hanya sekitar 40 meter persegi saja. Dengan ukuran seluas itu dan diisi oleh sekitar 40-50 orang, maka perbandingannya adalah 1 berbanding 1 atau 1 meter persegi untuk satu orang. Ini artinya sangat sempit sekali. Namun, sempitnya lapangan bukanlah menjadi alasan untuk tidak melaksanakan Upacara Bendera.
Keempat, perlombaan yang dilaksanakan usai Upacara Bendera dilakukan secara beregu atau tim. Ini untuk memupuk kebersamaan dan persatuan. Begitu juga hadiah bagi pemenang lomba diberikan secara kolektif bukan perorangan. Tujuannya, agar mereka dapat membagi dengan sama rata dan kekeluargaan, tidak ada yang mau menang sendiri atau mendapatkan paling banyak sendiri.
Kelima, dalam acara perlombaan juga diberikan hadiah kejutan bagi para peserta dan panitia terkait sejarah dan pahlawan integrasi Papua Barat serta para Pahlawan Nasional lainnya. Di antaranya Frans Kaisiepo, Johannes Abraham Dimara, Silas Papare, Wage Rudolf Supratman, Panglima Besar Jenderal Sudirman, R.A. Kartini dan tentu saja Dr. Ir. Sukarno sebagai Sang Proklamator.
Kesemua itu menunjukkan, bahwa meskipun dilaksanakan secara sederhana dan di lokasi yang terbatas, tidak mengurangi rasa khidmat diiringi semangat Nasionalisme dan Patriotisme dari peserta yang mayoritas adalah anak-anak dari beragam suku bangsa yang ada di tempat tersebut. Dirgahayu Republik Indonesia ke-75. Dari ujung Timur Indonesia, mari kita rajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Merdeka !!! []
Disusun oleh:
Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat
Related Posts
Waqf-E-Nou Parents Day Sukses Digelar di Masjid Mahmudah Gondrong Tangerang
Jemaat Ahmadiyah Cibinong Adakan Kelas Waqf-E-Nou
Ansharullah Ahmadiyah Indonesia Adakan Ijtima Nasional 2024
Bekali Public Speaking dan Personal Building | Hadirkan Mentor dari Celebes Public Speaking
DPD Jemaat Ahmadiyah Bogor Hadiri FGD Setara Institute
No Responses