“Popularisers and scholars almost unanimously present a standard view of the origins of the name Papua. Many scholars associate other forms of the name with the now standard Papua: puwa-puwa, and even papu-papu. The name is either standard Malay, or else Mollucan dialect and it means ‘frizzy-haired’. While this is clearly the view of westerners in the 19th and 20th centuries, evidence for it lacking or highly doubtful, and the name is older than that.”
ASAL-USUL NAMA ASLI PAPUA
Penamaan suatu tempat atau lokasi biasanya alami dan menyesuaikan dengan peristiwa, kejadian, karakteristik dan ciri khas yang terdapat di locus tersebut. Kadang diberi nama karena ada peristiwa tertentu yang kemudian melegenda, kadang karena endemik (berlimpahnya keberadaan) dari suatu hewan atau tanaman tertentu dan alasan lainnya.
Nama kampung penulis sendiri, disebut sebagai Kebon Randu. Entah, siapa yang pertama kali memberi nama itu: Kebon artinya kebun, Randu artinya pohon kapuk alias randu (Ceiba pentandra). Di halaman belakang rumah penulis sendiri, dulu –sekitar 50 tahun lalu– masih terdapat pohon kapuk Randu raksasa yang menjulang tinggi. Isi buahnya yang sudah kering (kapuk) biasanya dipakai untuk isi bantal (kapuk). Padahal pohon ini berasal dari suatu tempat yang jauh, yaitu Afrika Barat (Guinea).
Lain lagi dengan nama Konstantinopel alias Istanbul atau Istambul di Turki. Pusat ibukota Turki Usmani ini dulunya adalah ibukota Kekaisaran Romawi yang dibangun pada 330 Masehi. Nama Istanbul berasal dari bahasa Yunani, “eis tan polis” (στην πόλη). Orang Arab menyebutnya (ta’rib) dengan “Is-than-bul” (اسطنبول). Arti aslinya adalah “(Saya pergi) ke Kota”. Itu adalah jawaban dari orang-orang pedalaman disana ketika ditanya tujuan kepergiannya. Nama asli Istanbul sendiri jarang dimunculkan.
Hal ini sama dengan penamaan salah satu Kota Suci umat Islam, Madinah al-Munawwarah. Saat ini, nama asli kota itu mulai terlupakan. Orang menyebutnya dengan kata “Madinah” atau lengkapnya “Madinah al-Munawwarah” artinya Kota yang Bercahaya. Padahal, nama asli kota perdagangan itu adalah Yatsrib, yang merupakan salah seorang pengikut Nabi Nuh as.
Dalam buku “Al-Madinah al-Munawwarah fi al-Tariykh: Dirasah Syamilah” karya Abdussalam Hasyim Hafidz, kota Madinah sebelum Islam diisi penduduk yang berasal dari tragedi yang menimpa di masa Nabi Nuh as. Diceritakan bahwa sebagian umat Nabi Nuh AS itu tenggelam terbawa banjir besar, termasuk putra Nabi Nuh AS, Kan’an.
Sedangkan sebagian umat yang selamat, mereka ikut serta dalam bahtera kapal Nabi Nuh AS selama satu tahun 10 hari. Usai selamat, terdapat salah seorang pengikut Nabi Nuh bernama, Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail, melancong ke sebuah tempat. Kejadian ini bertepatan pada 2600 sebelum Masehi (SM), dan nama tempat yang dilanconginya itu pun dikenal dengan nama Yatsrib.
Nama asli Papua masih menjadi perdebatan hingga kini. Hanya saja, saat ini ada tiga sumber asal-usul nama Papua. Ketiga sumber itu relatif lebih dapat dipertanggungjawabkan bila dilihat dari kamus-kamus bahasa (leksikografi). Selainnya, hanya asumsi-asumsi yang tidak mendasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
F.A. Swettenham, dalam kamus Vocabulary of the English and Malay Language menyebutkan pada halaman 101, bahwa kata Papua itu adalah sebutan untuk buah pepaya. Dia menulis, “Papua = the papaya fruit“. (The immense quantities of this fruit growing in the New Guinea may have given rise to the name Papua for the place and people, Papua being the name of the natives of New Guinea for the papaya fruit.).
G.W.W.C. van Hoevell, dalam buku Over de beteekenis van het Woord Papoea of Papoewa pada halaman 525 menjelaskan, bahwa dalam bahasa Melayu-Ambon, bahwa kata “Papoewa” itu masih umum disebutkan, artinya adalah “kusut”. Ini biasa digunakan untuk aktifitas memancing, misalnya jaring (a fishing-line).
Peter Maurice McCallum dalam tulisannya “Who were the Papuans?” secara detil menjelaskan etimologi kata Papua. Berdasarkan kajian terhadap buku-buku sebelumnya, dosen di Good Shepherd College Fatima Papua New Guinea itu mengulik kajian baru mengenai asal-usul dan perubahan kata-kata yang menunjukkan asal dari kata “papoewah”, “puah-puah” dan “papus”.
Menurutnya, yang cocok untuk asal-usul kata Papua adalah yang berasal dari bahasa Biak, sup-i-babwa, yang sama artinya dengan sandaun “sundown” (to go underneath, down, to sink). Kata ini ada kaitannya dengan sejarah kedatangan mereka di Tidore sehingga disebut “Rajah Papoewah” atau kawasa ori sar artinya orang-orang dari tempat matahari terbit (people from the sunrise) alias orang-orang dari Timur.
NAMA-NAMA YANG DISEMATKAN PADA TANAH BESAR PAPUA
Penamaan Tanah Besar Papua, mengikuti sejarah yang pernah terjadi di sana. Nama-nama itu mencerminkan proses berlangsungnya interaksi dengan Tanah Papua sendiri. Berbagai nama kemudian disematkan pada Tanah Papua tersebut. Dari sini kita bisa melihat, bahwa hubungan itu telah berlangsung sejak lama sekali.
Nama Labadios adalah sebutan dari orang-orang Yunani untuk Tanah Papua. Nama ini berasal dari bahasa Somali, Afrika yang berarti “dua” atau “berdua”. Nama Labadios atau Lampaios diberikan untuk Tanah Papua oleh seorang ahli geografi Yunani, Claudius Ptolemious pada abad ke-2 Masehi. Apakah nama itu ada kaitannya dengan kisah dua orang yang diturunkan Tuhan di Tanah Papua: Nabi Adam as dan Hawa?
Dwi Panta alias Samudranta juga adalah nama yang disematkan oleh orang-orang Hindu India pada Tanah Besar Papua. Artinya, pulau yang terletak di ujung atau pulau di seberang lautan. Pada masa dahulu, orang-orang India juga berupaya untuk menyebarkan agama hingga sampai di Tanah Papua. Sayangnya, catatan tertulis mengenai hal ini sulit diperoleh.
Nama Janggi juga pernah disematkan bagi Tanah Besar Papua. Kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi pernah mengirimkan seorang budak berkulit hitam kepada Kaisar China sebagai hadiah persembahan. Dikatakan, bahwa budak itu berasal dari Janggi. Ejaan China menyebutnya dengan Tung-ki.
Pada masa Kerajaan Majapahit, nama Semenanjung Wanin atau Ewanin (Onin, Fakfak) dan Seran (Kaimana) sudah disebut sebagai bagian dari kawasan taklukan atau mandala. Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1365) pupuh XIV mencatat fakta itu: “Muar muwah tigang i Wandan Ambwan atbawa Maloko Wwanin ri Seran in Timur ning angkea nusatutur”.
Pelaut Portugis pertama yang mengunjungi Tanah Papua pada 1511 adalah Antonio d’ Abreu dan menamakannya Ilha de Papoia. Sedangkan pelaut Spanyol menyebutnya dengan Isla de Oro (Pulau Emas), 1521. Sebelumnya, Fransisco Robriguez juga mengunjungi Papua. Pada 20 Juni 1545, seorang Spanyol lain bernama Kapten Ynigo Ortiz de Retez dengan kapalnya San Juan mencapai Sarmi di muara sungai Amberno (Mamberamo). Dialah yang memberi nama pulau ini Nueva Guinea.
SUKU-SUKU DI FAKFAK DAN KAIMANA PAPUA BARAT
Papua Barat (disingkat Pabar) adalah sebuah propinsi Indonesia yang terletak di ujung barat Pulau Papua. Ibu kotanya adalah Manokwari. Nama provinsi ini sebelumnya adalah Irian Jaya Barat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, nama propinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan propinsi yang memperoleh status otonomi khusus (otsus). Provinsi Papua Barat, meski telah menjadi propinsi tersendiri, tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana propinsi induknya.
Di Papua Barat terdapat beberapa suku besar yang tersebar di seluruh kawasan. Khususnya di Kabupaten Fakfak dan Kab. Kaimana, ada beberapa suku yang tersebar di kedua kabupaten tersebut. Suku Irarutu adalah salah satu suku yang terdapat di hampir semua kawasan itu.
Suku di Kab. Kaimana terdiri dari suku Mairasi, suku Kuri, suku Irarutu, suku Oburau, suku Medewana, suku Napiti, suku Myere, dan suku Koiwai. Sedangkan suku di Kab. Fakfak terdiri dari suku Mbaham, Ma’tta, Mor, Onin, Irarutu, Kimbaran (Kembarau) dan Arguni. Suku-suku itu memiliki marga-marga yang jumlahnya relatif banyak.
SIRFEFA, MARGA PAPUA BARAT PERTAMA YANG BAI’AT
Nama Maulana Hamid Sirfefa, tentu tidak asing lagi bagi anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Nama belakang Sirfefa menunjukkan nama marga asli Papua, tepatnya di Kaimana, Papua Barat. Sirfefa merupakan salah satu marga yang berasal dari suku besar Irarutu.
Irarutu sendiri adalah putra seorang tokoh Tanah Papua masa lampau, yang biasa disebut sebagai Nabi Nuh AS. Kedua saudara lain dari Irarutu adalah Mairasi dan Kuri. Sebagaimana Irarutu, Mairasi dan Kuri juga memunculkan marga-marga yang kini mendiami kawasan Teluk Bintuni, Teluk Arguni dan Kaimana.
Orang pertama dari marga Sirfefa yang bai’at menerima Jemaat adalah Hamid, lengkapnya Hamid Sirfefa. Selama beberapa waktu, Hamid Sirfefa muda menempuh pendidikan di Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia, di Kampus Mubarak, Desa Pondok Udik, Kec. Parung, Kab. Bogor (kini masuk Kec. Kemang, Kab. Bogor, Jawa Barat).
Kini, Maulana Hamid Sirfefa telah menjadi Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan ditugaskan di Tanah Papua. Kurik di Merauke (Papua) pernah menjadi lokasi tugas Mubalig asli Papua tersebut. Saat ini, Maulana Hamid Sirfefa ditugaskan membina anggota Jemaat di Kaimana dan Fakfak (Papua Barat), tempat kelahirannya.
MARGA ASLI PAPUA BARAT YANG KEMUDIAN BAI’AT
Sedikitnya ada sekitar 15 marga asli Papua Barat yang –biasanya disebut Orang Asli Papua (OAP) –telah beriman kepada Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, al-Masih al-Mau’ud as (Nabi Isa as yang Dijanjikan Kedatangannya) dalam waktu hampir 10 tahun berkembangnya Ahmadiyah di Papua Barat, khususnya di Fakfak dan Kaimana.
Marga Urbun, adalah marga yang terdapat di Kab. Fakfak, Papua Barat. Marga ini berasal dari Desa Taroy, Distrik Aranday, Kab. Teluk Bintuni. Marga ini bagian dari Suku Kembaran yang juga bagian dari Suku Sebyar. Tiga marga lainnya adalah: Bauw (marga tertua, artinya bumi), Nabi (artinya langit) dan Solowat (artinya pengikat).
Urbun sendiri artinya pengikat antara langit dan bumi. Di antara yang sudah menyatakan baiat adalah Syahruddin Urbun, Mardian Urbun (LI), Noval Urbun (Khuddam), Maida Urbun (LI), Jainal Urbun (Athfal), Kabatia Urbun (Nashirat) dan Mariyani Urbun (Nashirat).
Marga Hindom, marga ini –bersama tujuh marga lainnya– berasal dari Kampung Weriagar dan Mogotira, Distrik Aranday. Kedua marga ini berasal dari suku asli Papua yang sejak lama telah memeluk agama Islam. Beberapa nama mubayin baru yang berasal dari suku Hindom adalah Sumiyati Hindom dan Siti Hindom.
Marga Sirfefa, marga ini juga termasuk ke dalam suku besar Irarutu. Hingga saat ini, sebagian besar mubayin baru berasal dari marga Sirfefa. Mungkin ini bisa dimaklumi, sebab mubalig yang ditempatkan di Kaimana pun berasal dari marga yang sama. Hubungan kekeluargaan biasanya menjadi faktornya. Tablig kepada keluarga terdekat (TKT) adalah metode yang lebih mudah. Di antara mubayin baru yang berasal dari marga ini adalah Hasanuddin Sirfefa, Nurjannah Sirfefa, Sri Wani Sirfefa, Abdul Gofur Sirfefa dan lainnya.
Marga Watora, dari marga ini juga banyak yang menyatakan baiat. Marga ini masih termasuk dalam suku Irarutu. Di antaranya adalah Ratna Fina Watora, Abdullah Watora, Muhammad Nasir Watora, Hamzah Watora dan lainnya.
Selain itu banyak mubayin baru dari Marga Kumune, Marga Rairima, Marga Rohrohmana, Marga Rute, Marga Fandy, Marga Ufnia, Marga Fimbai, Marga Werio/Tigtigweria, Marga Waita dan Marga Furuada. Umumnya, mereka berasal dari suku Irarutu. Dari segi agama semula, ada yang berasal dari Islam, ada juga yang sebelumnya menganut Kristen (Protestan).
KARAKTERISTIK MARGA ASLI PAPUA BARAT
Karena sejak lama di Kab. Fakfak dan Kab. Kaimana telah terjadi persentuhan antara agama-agama yang masuk kesana dengan tradisi setempat, maka toleransi relatif dijunjung tinggi. Apalagi ketiga agama yang masuk kesana itu kemudian dipeluk oleh orang-orang yang berasal dari satu marga atau keluarga yang sama. Jadi, tidak mengherankan bila dalam satu marga Werfete, ada tiga agama: Islam, Kristen dan Katolik.
Sikap toleransi ini juga bisa terbentuk karena hingga kini masyarakat di Fakfak dan Kaimana mengembangkan motto “Satu Tungku Tiga Batu” yaitu Adat, Agama dan Pemerintahan. Filosofi ini juga hampir sama dengan yang ada di Maluku. Filosofi ini telah menjadi falsafah dan pandangan hidup (way of life) yang menginspirasi masyarakat Fakfak dan Kaimana dalam bingkai hubungan kerukunan antar umat beragama, kerja sama dan tolong-menolong.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di Fakfak dan Kaimana, ada satu keluarga yang terdiri dari tiga agama: Islam, Kristen dan Katolik. Sebab, pada masa dulu, penyebaran agama pun saling ditopang oleh agama lainnya. Misalnya, ketika ada yang sudah beragama Islam sedangkan keluarganya di pedalaman masih beragama suku, maka para penginjil diarahkan untuk melakukan pekabaran Injil (PI) kepada keluarganya yang belum beragama tersebut.
Di daerah Sekartemen, Fakfak, para orang tua yang menerima pewarta Injil dengan bahasa yang sederhana biasanya mengatakan, “Ini hal yang baik. Jika demikian, kita berikan kepada saudara kita yang belum beragama, karena kita sudah beragama Islam”.
Kisah Pastor Cornelius le Cocq d’ Armanville, SJ dari Ordo Society of Jesus/Serikat Yesus (SJ) Batavia (Jakarta) yang menyebarkan Katolik di Torea, Kampung Sekru (Fakfak) pada 22 Mei 1894 menjadi sejarah yang diperingati hingga kini. Suku pedalaman Ma’atta yang masih belum beragama waktu itu menjadi target penyiaran Katolik atas kerjasama dengan pihak muslim pesisir bermarga Iha atau Mbaham.
Karakteristik ini pulalah yang menjadi sebab mereka dapat dengan mudah menerima kehadiran Jemaat Ahmadiyah disana. Semoga ke depannya semakin banyak orang asli Papua yang menerima Jemaat, sehingga Jemaat Imam Mahdi as ini juga dapat berkembang di Tanah Papua. []
—o0o—
Disusun oleh : Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat
Selesai disusun pada Sabtu, 13 Juni 2020 pkl. 13.14 WIT.
Di rumah transit sementara/rumah missi Mubalig Daerah Papua Barat “Jang-e-Muqaddas” Komplek BTN Wayame, Desa Wayame, Kec. Teluk Ambon, Kota Ambon, Maluku 97234.
Related Posts
Waqf-E-Nou Parents Day Sukses Digelar di Masjid Mahmudah Gondrong Tangerang
Jemaat Ahmadiyah Cibinong Adakan Kelas Waqf-E-Nou
Ansharullah Ahmadiyah Indonesia Adakan Ijtima Nasional 2024
Bekali Public Speaking dan Personal Building | Hadirkan Mentor dari Celebes Public Speaking
DPD Jemaat Ahmadiyah Bogor Hadiri FGD Setara Institute
No Responses