Kunjungi Dusun Mualaf Suku Pedalaman Nayaba | Bagian 2

Kunjungi Dusun Mualaf Suku Pedalaman Nayaba | Bagian 2
Bersama anak-anak suku pedalaman di dusun Nayaba, Desa Funa, Kec. Werinama,, Kab. Seram agian Timur (Maluku) Kamis 29 Agustus 2020

Masroor Library – Dusun Nayaba, Kab. Seram Bagian Timur – WARTA “MELEK” JAI DAERAH MALUKU [29/8]. Kendaraan roda empat yang dikemudikan oleh Albat Yapono itu melaju meninggalkan Negeri Bemo ke arah Negeri Werinama. Sekitar dua kilometer, mobil itu berbelok ke kiri ke jalan lintas arah Bula, ibukota Kabupaten Seram Bagian Timur, Kamis (29/8/2020) pagi itu.

Di dalam mobil itu ada Mubalig Daerah Maluku, didampingi oleh Idrus Wakano (alumnus UNPATTI Ambon), Babinsa Koramil 1502 Werinama Bikri Sumual, Usman Joko, Jamilah Pakalessy (Mila) dan Darwan Pakalessy (Moy). Dua nama terakhir adalah sosok yang berjasa dalam mengislamkan suku asli pedalaman di Dusun Nayaba.

Jamilah Pakalessy sudah sepuluh tahun mengajar literasi bagi warga suku pedalaman di Funa, Nayaba, Dak dan Balakeu. Dia dengan biaya sendiri berkeliling ke pedalaman untuk mengajar baca-tulis dan mengaji. Meskipun hanya lulusan SD, Mama Mila sangat terampil dalam mengajar. Anak-anak suku pedalaman itu kini sudah bisa membaca, menyanyi dan mengaji. Bahkan yang anak lelaki sudah khatam Juz ‘Amma dan bisa mengimami.

Dusun Nayaba berada di Desa Funa, di Kec. Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur. Dari Negeri Bemo jaraknya sekitar 25 kilometer via jalan lintas ke Bula, ibukota Kabupaten Seram Bagian Timur. Hanya sekitar 10 kilometer saja jalanan berupa aspal. Sisanya jalanan pasir batu (sirtu) dan tanah merah. Di beberapa tempat, jalanan berupa kubangan air mirip kubangan kerbau. Beberapa sungai tanpa jembatan juga harus dilalui.

Setelah menempuh perjalanan satu jam lebih, akhirnya rombongan tiba di jembatan Sungai Bobot. Jembatan ini panjangnya sekitar 150 meter. Pada ujung jembatan itu ada dua buah rumah panggung terbuat dari papan. Menurut Mama Mila, itulah rumah Kepala Dusun Nayaba. Mama Mila turun dan mengajak beberapa anak agar masuk madrasah.

Rombongan kemudian bergerak kembali. Setelah melintasi sungai tanpa jembatan, sampailah di Dusun Nayaba. Dusun mualaf suku asli pedalaman itu hanya terdiri dari sekitar 14 rumah. Satu buah masjid dan madrasah sudah dibangun dari kayu papan. Mobil yang ditumpangi parkir di depan rumah Mama Mila, sebelah madrasah.

Anak-anak suku pedalaman mulai berdatangan setelah dihimbau untuk masuk sekolah. Mereka memasuki ruang belajar yang terbuat dari papan dan lantai semen. Mereka dibagi menjadi tiga kelas sesuai dengan kemampuan daya serap mereka. Guru hanya dua orang, yaitu Mama Mila untuk materi pelajaran sekolah umum dan Ustadzah Siti Fatimah untuk materi keagamaan seperti praktek shalat, thaharah dan membaca Juz ‘Amma.

“Mulai hari Senin, sekolah akan masuk kembali,” kata Mama Mila memberi informasi sambil menulis satu kata “pintar” di papan tulis whiteboard itu dengan spidol berwarna hitam. “InsyaAllah, Mama akan berada di Dusun Nayaba Sabtu lusa. Semua keperluan kapur dan buku-buku tulis sudah dipenuhi oleh Ustadz Jumaan. Jadi, anak-anak tinggal belajar saja. Belajar akan menjadikan pintar!”

Menurut Mama Mila, untuk materi umum sekolah dasar, dilaksanakan mulai pkl. 08.00 WIT hingga Dhuhur. Sedangkan untuk materi keagamaan atau madrasah mulai dari pkl. 14.00 WIT hingga Ashar. Rata-rata hanya dua jam saja tiap kali pertemuan. Saat ini untuk materi umum, anak-anak mualaf itu sudah ada yang Kelas 1, 2 dan 3. Sedangkan untuk materi agama, mereka sudah bisa membaca huruf Arab dan Iqra 5.

Mubalig Daerah Maluku kemudian berkeliling Dusun Nayaba. Masjid yang terletak sekitar 30 meter dari lokasi Madrasah pun dikunjungi. Masjid ini terbuat semi permanen. Papan kayu dipakai di atas fondasi semen. Kondisinya lumayan bersih untuk ukuran di pedalaman. Di sini biasa dilaksanakan majlis taklim dan shalat Jumat. Beberapa kitab pegangan tampak di atas rak di pojok masjid.

Sekitar pukul 15.25 WIT, rombongan kemudian berpamitan kembali ke Negeri Bemo. Namun, sebelumnya mampir di Komplek “Yamani Persada” sekitar satu kilometer dari lokasi Dusun Nayaba. Di lokasi itu ada satu rumah yang ditempati oleh salah satu guru/ustadzah, yaitu Mama Siti Fatimah.

Tampak awan hitam di langit sudah bergulung menandakan hari akan turun hujan. Dikhawatirkan, bila hujan turun lebat, sungai akan meluap. Itu artinya kendaraan tidak akan bisa menyeberangi sungai-sungai yang belum ada jembatannya tersebut. Jumlahnya ada sekitar lima sungai yang harus dilintasi dengan masuk ke dalamnya.

Saat hendak masuk ke mobil, tampak beberapa anak suku pedalaman sedang berjalan mendekat ke arah mobil. Mereka diantar oleh anak perempuan yang agak besar. Ternyata mereka ingin main ke Komplek “Yaman Persada” di rumah kayu yang ditempati Ustadzah Siti Fatimah alias “Mama Jawa” dengan suaminya, Ustadz Ilyas Gowa.

Setelah berpamitan dengan kedua tuan rumah dan anak-anak suku pedalaman itu, rombongan pun bergerak kembali meninggalkan Komplek “Yamani Persada”. Jalanan tampak masih licin dan kendaraan harus berhati-hati saat melintasinya. Untungnya, air sungai belum meluap dan semuanya masih bisa diseberangi. []

Disusun oleh:
Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Maluku

No Responses

Tinggalkan Balasan