Kunjungan Perdana Waketda LI ke Kota Sorong

Kunjungan Perdana Waketda LI ke Kota Sorong
"Meskipun ini cukup berat, tetapi tetap harus dilaksanakan. Perjalanan laut selama 12 jam tentunya menguras tenaga dan psikis, mulai dari menanti datangnya kapal laut, saat menaikinya hingga turun kembali di pelabuhan tujuan. Wajah-wajah kusut dan lesu, saat di dalam kapal laut, berganti dengan keceriaan saat tiba di pelabuhan kota tujuan."

Masroor Library – Kota Sorong, Papua Barat [9/7]. Kapal PELNI terbesar dan terluas itu pun akhirnya sandar di Pelabuhan “Yos Sudarso” (Port of Manokwari) pada Jumat (8/7) malam sekitar pkl. 23:45 WIT. Ini menandai berakhirnya penantian panjang dan perubahan jadwal ketibaan yang berubah hingga tiga kali. Dijadwalkan, pkl. 08:00 WIT, lalu mundur menjadi pkl. 16:00 WIT dan terakhir molor lagi hingga pkl. 23:45 WIT.

Sekretaris Maal JAI Manokwari Bpk. Karim Ali Mandati dan Sekretaris Tablig LI Manokwari Ibu Waleto serta putrinya Chantica Ramadhani Nurumela dan juga mahasiswa Jamiah Afdal Hidayat yang mengantar rombongan Mubalig Daerah, Amir Daerah dan Waketda LI Papua+Papua Barat dengan mobil milik IPDA Nur Iman (simpatisan, anggota Polres Manokwari) itu pun ikut menunggu hingga kapal laut mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Manokwari. Bahkan, Sekretaris Maal juga mengatur sedemikian rupa tempat di atas kapal melalui temannya, seorang asli Papua yang menjadi Tenaga Kuli Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Manokwari.

Keterlambatan kapal laut bagi para penumpang dan pengguna moda transportasi laut ini seolah menjadi sesuatu yang biasa dan dimaklumi. Meski mereka harus menunggu berjam-jam, tetapi dengan sabar mereka tetap menantinya. Bahkan, ada yang sampai tidur di pelabuhan. Bagi mereka ini merupakan suatu proses yang harus dijalani. Bila ingin cepat, meski terbilang mahal, maka pesawat adalah alternatif terakhirnya.

Hampir dua jam lamanya KM Labobar dari arah Jayapura melalui Nabire itu menurunkan dan menaikkan penumpang. Karena saking banyaknya, seolah penumpang yang turun itu tidak ada habis-habisnya. Sedangkan para penumpang yang akan naik juga tidak kalah banyaknya. Mereka berjubel sudah tidak sabar untuk naik kapal laut yang akan membawa mereka ke arah barat itu.

Saat pintu naik sudah siap, banyak orang berebut menaikinya. Mubalig Daerah Papua Barat sekeluarga juga turut ada dalam kerumunan penumpang yang akan naik tersebut. Begitu juga istri dan anak-anak dari Mubalig Lokal Manokwari dan Manokwari Selatan. Sedangkan Amir Daerah Papua Barat telah lebih dulu naik ke kapal bersama seorang TKBM untuk mempersiapkan tempat duduk.

Dengan diantar TKBM tadi, rombongan Mubalig Daerah Papua Barat pun menuju ke tempat duduk atau ranjang di dek 30038-30043. Ini memang tidak sesuai dengan nomor tiket yang seharusnya di dek 6 nomor 60021-A. Menurut info TKBM, hanya KM Tidar dan KM Ciremai yang masih menerapkan dengan ketat pemakaian nomor tiket, kapal PELNI lainnya sudah berlaku “siapa cepat, dia dapat”.

Wajah-wajah ketiga putri Mubalig Daerah Papua Barat yang ikut serta itu tampak kusut dan cemberut. Padahal sebelum berangkat, putri bungsu sangat ceria karena ingin naik kapal laut. Meskipun saat ditugaskan di Maluku biasa naik kapal laut, tetapi baru pertama kali inilah mereka naik kapal sejak tinggal di Papua Barat. Dan, hanya di Papua Barat, proses naik kapal sampai saling berebut seperti itu.

Pengalaman berdesak-desakan saat menaiki tangga kapal tadi telah membekas sedemikian rupa pada jiwa anak-anak. Putri bungsu hampir terjepit karena kerumunan penumpang yang berebut naik tangga. Untungnya seorang petugas yang mengetahui hal itu dapat mengatur agar proses naik tangga kapal bisa berjalan tertib meski tetap juga saling berdesakan. Putri sulung juga terlihat semacam trautama. Teriakan-teriakan penumpang, membuatnya tidak nyaman.

Setelah mendapat tempat/ranjang, semuany kemudian dapat beristirahat. Kapal mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Manokwari menuju ke arah Kota Sorong. Perlu waktu sekitar 12 jam untuk tiba di tempat tujuan. Kesempatan itu bisa dimanfaatkan untuk mengenal para penumpang lainnya yang ada di ruangan 3-C tersebut.

Adalah Dwi Dyah Rizki, perempuan asal Nabire yang seolah menjadi traveler itu mendapat tempat persis di depan rombongan Mubalig Daerah Papua Barat. Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jurusan Hubungan Internasional (HI) itu bisa menjadi teman berbincang yang cukup mengasyikan. Wawasannya mengenai politik global cukup banyak. Begitu juga pengalamannya mengunjungi tempat-tempat menarik di Indonesia.

“Sayangnya, saya belum pernah keluar negeri meskipun saya sudah memiliki passport elektronik,” ujar perempuan berjilbab yang mudah bergaul ini. Ternyata dia sudah pernah mengunjungi tempat-tempat wisata di Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan di Jawa Timur. “Saya akan di Surabaya dan selama lima hari berada disana. Ibu Risma telah menata tempat di Surabaya dengan baik.”

Penumpang berikutnya adalah blasteran Papua-Maluku bernama Jenny Horota Tuasela. Marga Horota berasal dari Serui, sedangkan Tuasela jelas dari Maluku, tepatnya di Negeri Waai, Kecamatan Salahutu, Kab. Maluku Tengah. Karena ada teman juga yang bermarga Tuasela di Waai, akhirnya Mubalig Daerah pun menanyakan hubungannya. “Kalau Ibu Von Tuasela itu adalah nenek saya,” kata guru PAUD di Nabire tersebut.

Penumpang ketiga juga seorang perempuan berasal dari SP 8 dan sering tinggal di Muari, Distrik Oransbari. Menurutnya, dia baru pertama kali naik kapal laut sehingga tampak kebingungan. “Saya kenal Naim dan Seno di Muari,” kata perempuan berjilbab itu saat Mubalig Daerah menanyakan kedua nama itu.

Perjalanan selama 12 jam itu berangsur menjadi perjalanan yang menyenangkan. Ketiga putri Mubalig Daerah Papua Barat sudah menyesuaikan dengan lingkungan kapal. Hanya saja, saat diajak ke kamar mandi kapal, putri bungsu terlihat kaget. Ternyata kamar mandi kapal di ruang sebelah itu tampak tidak terurus dan kotor sekali. Akhirnya putri bungsu tidak jadi melaksanakan keperluannya. Untungnya kamar mandi di ruang sebelah lagi kondisinya cukup baik dan terawat.

Setelah menempuh perjalanan selama 12 jam, akhirnya kapal itu pun sandar lambung kanan di Pelabuhan Kota Sorong. Melalui garbarata, semua penumpang turun menuju ruang tunggu kedatangan dan keberangkatan penumpang. Mungkin, untuk seluruh pelabuhan di Papua Barat dan Papua, hanya Pelabuhan Kota Sorong yang telah menggunakan garbarata. Benar-benar mirip di bandara!

Menggunakan mobil angkot yang disopiri orang asal Allang, Maluku, akhirnya rombongan pun bergerak menuju rumah missi JAI Kota Sorong. Saat memasuki kilo 9, tampak hujan sudah mulai turun dan menjadi besar hingga ke kilo 12 dimana rumah missi berada. Rombongan pun turun dan masuk ke dalam rumah missi dengan kunci cadangan. Sebab, Mubalig Lokal Kota Sorong Mln. Ahmad Hayat Heriyanto ternyata masih berada di luar rumah.

Tags:

No Responses

Tinggalkan Balasan