Berkeliling Kota Biak Sebelum Kembali ke Kota Manokwari

Berkeliling Kota Biak Sebelum Kembali ke Kota Manokwari
"Kami di Raja Ampat memerlukan penulisan sejarah marga-marga. Termasuk penulisan sejarah Perang Dunia II yang peninggalannya masih ada dan terjaga. Sayangnya, kami belum memiliki SDM-nya. Suatu saat Bapak harus ke Raja Ampat dan akan saya antar keliling selama disana."

Masroor Library – Manokwari, Papua Barat [30/7/22]. Kapal Motor Penumpang alias KM Sinabung itu sandar di Pelabuhan Manokwari, Sabtu (30/7) pagi. Penumpang yang akan turun di Manokwari, bergegas menuju pintu turun di dek 4 bagian belakang. Sesuai informasi, kapal akan sandar lambung kanan bagian kiri. Cuaca masih tampak gelap, hujan rintik-rintik terlihat membasahi kawasan pelabuhan.

Hanya sedikit orang yang terlihat akan turun di Pelabuhan Manokwari. Ini kontras dengan saat di Pelabuhan Biak, dimana penumpang yang turun dan naik jumlahnya hampir seimbang. Ratusan penumpang turun dan ratusan lagi naik. Tetapi saat sandar di Pelabuhan Manokwari, jumlah yang turun tidak sampai 100 orang. Begitu juga jumlah penumpang yang akan naik.

Setelah dua malam berada di Pulau Biak (Papua) dan melakukan beberapa agenda khusus, Mubalig Daerah Papua Barat pun kembali ke Manokwari lagi. Karena jadwal kapal mengalami perubahan, Sabtu (29/7) pagi itu diantar oleh ojek asal Biak Utara, yaitu Hengky Rumakeuw, Mubalig Daerah kembali berkeliling Kota Biak. Setelah santap siang di salah satu warung Padang, akhirnya meluncur ke pelabuhan.

Pelabuhan Biak masih tampak lengang. Hanya beberapa calon penumpang dan pedagang yang sudah tiba. Pintu teralis besi ruang tunggu pelabuhan ternyata masih belum dibuka. Setelah lesehan sekitar 30 menit di depan pintu itu, akhirnya seorang petugas datang dan membuka pintu.

“Silakan masuk dan menunggu di dalam saja. Kapal baru akan tiba sekitar empat jam lagi.”

Saat menunggu itulah, Mubalig Daerah kembali bertemu dengan kenalan yang sebelumnya sama-sama naik kapal ke Pulau Biak. Di antaranya Yoel Wayori dan Inseri Rumpaidus. Beberapa kenalan baru pun didapat selama perjalanan kembali ke Manokwari. Di antaranya Idzer Maray dan Hulda Wayori. Ternyata, siklus di kapal laut memang tak pernah berubah.

Kapal laut seolah menjadi assembly point alias tempat berkumpul. Disinilah kita akan berjumpa banyak orang dan kenalan baru dari berbagai kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Semakin sering menggunakan jasa kapal laut, maka semakin banyak kenalan yang kita peroleh. Bahkan kenalan yang sebelumnya pun tetap selalu berjumpa di atas kapal. Dunia serasa tidak lebih dari selebar daun kelor!

Sebut saja Yoel Wayori. Mantan guru di Kokas, Fak Fak itu telah dikenal sejak di Kota Sorong. Saat memesan tiket di Kantor PELNI Kota Sorong, pensiunan kelahiran Babo (Teluk Bintuni) itu banyak bercerita mengenai Kokas, Fak Fak. Begitu juga mengenai pelayanan Kantor PELNI yang menurutnya sangat tidak profesional.

“Kalau saja pimpinannya dicopot, barulah pelayanannya bisa berubah menjadi lebih profesional,” harapnya dengan gemas.

Lalu, Hulda Wayori –putri bungsu Yoel Wayori– yang baru bertemu di Biak. Alumnus IPB Bogor (2010-2015) itu mengaku pernah diajar oleh dosen bernama Ardina Permatasari alias Dina dan juga Ibu Novi Nayyarah Nur. Dina adalah murid les Mubalig Daerah Papua Barat saat masih ditugaskan sebagai Mubalig Lokal JAI Salatiga (2003-2005) sedang nama dosen berikutnya adalah Naib Sadr PPLI.

Mubalig Daerah juga bertemu kembali dengan Mama Inseri Rumpaidus asal Pulau Doom di Pelabuhan Biak. Bahkan, selama perjalanan di atas kapal, tempat duduk lesehan masih sama seperti dulu, yaitu di dek 6. Yang berubah hanya teman duduk di sebelah lagi, tetapi kalau saat berangkat ke Biak adalah Metusalakh Mansoben (paman), maka saat pulang adalah Idzer Maray (keponakannya).

Idzer Maray adalah seorang pemuda berusia 28 tahun yang telah menyelesaikan pendidikan di STIKOM Cimahi (Bandung) pada 2018 lalu. Dia merupakan Ketua Pemuda GKI Betfage di Warwiay, Kabare, Raja Ampat. Pengalamannya di Jawa selama lima tahun menuntut ilmu, menjadikannya sebagai pemuda yang percaya diri. Meskipun, bila sekilas melihatnya, orang akan tertipu dengan penampilannya.

“Kami di Raja Ampat memerlukan penulisan sejarah marga-marga. Termasuk penulisan sejarah Perang Dunia II yang peninggalannya masih ada dan terjaga. Sayangnya, kami belum memiliki SDM-nya. Suatu saat Bapak harus ke Raja Ampat dan akan saya antar keliling selama disana,” kata keponakan Metusalakh Mansoben dan keluarga dari Pdt. Eren Wakum yang telah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Suku Sough tersebut.

Secara rabtah, semua undangan mampir ke rumah mereka, dapat dimaknai sebagai undangan wajib dan bukan sekedar basa-basi. Artinya, suatu saat akan dipenuhi. Oleh sebab itu saat kunjungan ke Pulau Doom atau Waisai, maka akan mengagendakan bertemu dengan mereka. Dengan demikian, bertukar nomor gawai juga merupakan suatu keharusan saat kita menjalin perkenalan pertama kali. []

Disusun oleh:
Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat

Tags:

No Responses

Tinggalkan Balasan