Kebenaran Pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS

Kebenaran Pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS

Masroor Library – Penjelasan dan tanda-tanda kebenaran pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS sesungguhnya telah cukup dan sangat jelas bagi orang-orang yang benar-benar hendak mencari kebenaran, dan yang takut kepada Allah SWT dan kepada Hari Kiamat. Untuk golongan ini di sini saya akan menjelaskan kebenaran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS menurut Alquran dan Hadis dengan seringkas-ringkasnya, supaya orang-orang dapat memeriksanya dengan mudah dan supaya pada Hari Kiamat kelak jangan mereka berkata:

“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin kami dan para pembesar kami kemudian mereka telah menyesatkan kami dari jalan yang lurus. Wahai Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat beratnya dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS Al-Ahzab, 33:68-69).

Atau pada Hari Kiamat jangan berkata:

“Setiap kali suatu umat masuk, maka umat itu akan mengutuk saudara-saudaranya dari umat lain, hingga apabila mereka semua sudah tiba di dalam neraka, maka orang-orang yang datang kemudian berkata kepada orang-orang yang datang terdahulu, “Wahai Tuhan kami, mereka ini telah menyesatkan kami, karena itu berilah mereka azab api yang berlipat ganda.” (QS Al A’raf, 7:39)

Dan supaya sebelum menyelidiki jangan lekas berkata:

“Kamu menghendaki kami berpaling dari apa-apa yang disembah oleh nenek-moyang kami” (QS Ibrahim, 14:10)

Dan lagi jangan sampai mereka itu berkata :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka itu, “Marilah mentaati apa-apa yang diturunkan oleh Allah dan mentaati rasul.” Maka mereka berkata, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari nenek-moyang kami.” (QS Al-Ma’idah,5:104).

Untuk golongan itu, saya sengaja mengemukakan contoh-contoh yang terdapat dalam Alquran Majid, karena Alquran adalah Kitab Allah yang sempurna dan cukup untuk dipakai memperlihatkan cahaya Allah dan untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil. Memang Alquran-lah satu-satunya Kitab Suci yang mendakwakan bahwa, segala sesuatu dan segala contoh yang diperlukan oleh manusia sudah tercakup di dalamnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan sesungguhnya Kami telah jelaskan kepada manusia di dalam Alquran ini segala macam perumpamaan, dan apabila engkau membawa kepada mereka suatu tanda, niscaya orang-orang yang ingkar akan berkata: “Kamu tidak lain hanyalah penipu”. Demikianlah Allah memeterai atas hati orang-orang yang tidak mau memahami.” (QS. Rum, 30:58-59).

Kemudian Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah menjelaskan dalam Al-Qur’an ini bagi kepentingan manusia segala macam perumpamaan, tetapi dalam segala sesuatu manusialah yang paling banyak membantah.” (QS Al Kahfi, 18:54)

Lain dari pada itu, kalau kita mau melihat dan memeriksa kebenaran seseorang nabi yang datang dari Allah SWT, haruslah kita melihat dahulu keadaannya sebelum dan sesudah pendakwaannya di dalam kehidupannya dan amal perbuatannya. Jika orang itu, dari masa kecilnya selalu ingat kepada Allah SWT dan selalu takut kepada-Nya, belum pernah berdusta apa lagi menipu orang lain, dan ia selalu menyembah Allah SWT dan selalu berikhtiar dengan perkataan dan amal, untuk memperbaiki dan memajukan kaumnya, hingga bangsanya mempunyai harapan akan maju oleh pertolongan, petunjuk dan perbuatannya, kemudian tiba-tiba setelah ia tua, dan ia tahu bahwa ia akan bertemu dengan Allah SWT tentang segala amal perbuatannya, waktu itu dimana ia nanti akan ditanya oleh Allah SWT, lalu ia berani berdusta atau iftira terhadap Allah SWT, maka hal ini sungguh tidak masuk akal sama sekali. Oleh sebab itulah maka waktu Rasulullah SAW mendakwakan menjadinabi di muka umum, beliau bersabda:

“Maka sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu dalam masa yang panjang sebelum ini. Apakah kamu tidak mempergunakan akal?” (QS Yunus,10:17)

Orang-orang tadinya selalu memuji akhlak dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW, namun pada waktu beliau SAW mendakwakan diri sebagai nabi, pada waktu itu juga, orang-orang itu berkata :

“Ini seorang ahli sihir dan pendusta besar”. (QS Shad, 38:4 )

Dalam hal ini ada juga di antara ulama-ulama yang menerangkan sebagaimana di atas, seperti yang tersebut di dalam buku Fatawa Ibnu Taimiyahjilid 5 hal. 79, begini:

“Siapa saja di antara pendusta yang mengaku dirinya menjadi nabi, niscaya akan kelihatan pada diri orang tersebut kejahilan, kedustaan, kejahatan dan kekuasaan syaitan pada dirinya oleh orang yang sedikit dapat memperbedakan. Begitu pula seseorang yang benar, yang mendakwakan diri sebagai seorang nabi, pasti akan kelihatan pula pada diri orang tersebut ilmu pengetahuan, kebenaran, dan bermacam-macam kebaikannya, oleh orang yang dapat sedikit membedakan sesuatu.”

Di dalam Alquran, Allah Ta’ala menerangkan dengan nyata kepada siapa datangnya syaitan dan kepada siapa pula turunnya wahyu syaitan itu, sebagaimana firman-Nya:

“Maukah Aku beritahu kamu, kepada siapakah syaitan-syaitan itu turun? Syaitan-syaitan itu turun kepada tiap-tiap pendusta yang banyak berbuat dosa” (QS Asy-Syu’ara, 26:222-223)

Oleh karena sekarang Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS mendakwakan dirinya mendapat wahyu dari Tuhan, dan mengaku bahwa beliau adalah orang yang ditunggu-tunggu oleh segala ahli agama hingga saat ini, maka marilah kita lihat bagaimanakah pandangan orang kepada beliau sebelum beliau menyiarkan pendakwaannya

Mula-mula Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS menulis satu buku yang bernama Barahin Ahmadiyah, di dalamnya beliau menulis penjelasan yang sangat panjang lebar tentang kebenaran Islam dan ketinggian Nabi Muhammad SAW serta beliau berjanji akan memberi hadiah 10.000 rupees kepada siapa saja yang dapat membantah dan mematahkan argumentasi-argumentasi yang tertulis dalam buku itu. Pada masa itu ada seorang alim bernama Muhammad Husain Batalwi, menulis tentang Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS dalam bukunya Isyaatus Sunnah, begini bunyinya:

“Pengarang buku Barahin Ahmadiyah sebagaimana yang telah disaksikan dan dilihat oleh kawan dan lawan, adalah seorang yang berpegang teguh kepada syari’at Islam, muttaqi dan seorang yang benar; kemudian katanya: “Dengan ringkas dan tidak berlebih-lebihan, kami jelaskan pandangan kami tentang buku ini (Barahin Ahmadiyah), bahwa melihat kepada keadaan yang ada pada masa sekarang, ini adalah suatu buku yang tidak ada bandingannya, dan belum ada contohnya di dalam Islam sampai sekarang. Dan pengarangnya pun adalah seorang yang selalu tetap memajukan agama Islam dengan pengorbanan jiwa, tulisan dan perkataan, dengan keadaan dan perbuatan. Orang yang semacam ini, di antara orang Islam yang dahulu pun jarang di dapatkan contohnya”.

Itulah pandangan seorang alim India, tentang kebaikan, kebersihan dan kebenaran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS sebelum pendakwaannya. Alim ulama ini, sebagaimana halnya kebiasaan di masa yang dahulu-dahulu, setelah ia mendengar pendakwaan diri Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS menjadi Imam Mahdi, maka ia pun menjadi seorang yang sangat membenci dan memusuhi beliau AS. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS sendiri telah menulis dalam bukunya yang berjudul Tazkiratusy Syahadatainhal. 62, Nuzulul Masihhal. 212 dan dalam buku Ainah Kamalat Islamhal. 290 yang maksudnya begini:

“Tidak seorang pun akan dapat menerangkan kedustaan, kepalsuan atau tipuan pada diri saya yang berhubungan dengan kehidupan saya sebelum saya menda’wakan diri. Sekarang umur saya sudah lebih dari 60 tahun, tetapi tidak seorang pun baik yang jauh maupun yang dekat, dapat menerangkan satu celaan tentang kehidupan saya sebelum saya menda’wakan diri. Siapakah yang dapat menerangkan satu perkataan yang dusta yang sudah keluar dari mulut saya? Jika saya tidak pernah berdusta kepada seorang manusia pun, maka bagaimana saya akan dapat berdusta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan saya selalu mengorbankan segala sesuatu untuk kebenaran?”.

Selain dari pada itu marilah kita periksa pula bagaimana kehendak dan tindakan Allah SWT terhadap orang yang mendakwakan dirinya sebagai seorang nabi. Jika Allah Ta’ala selalu menolong dan selalu memberi kemenangan dan tidak menyiksa dia dalam waktu hidupnya, maka semestinya kita menyatakan bahwa orang yang mendakwakan itu pastilah ia seorang yang benar. Karena Allah SWT telah menetapkan satu ketetapan bagi tiap-tiap orang yang berdusta (muftari) di atas nama Allah SWT seperti tersebut dalam Al-Qur’an:

“Jika sekiranya ia mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami, niscaya Kami akan menangkap dia dengan tangan kanan, kemudian niscaya Kami akan potong urat nadi lehernya.” (QS Al-Haqqah, 69:45-47)

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang mendakwakan mendapat wahyu dari Allah SWT padahal tidak benar, maka orang yang semacam itu tentu akan mendapatkan hukuman dari Allah SWT di dalam dunia ini juga, dan umurnya pasti akan pendek. Ulama besar-besarpun telah menulis, bahwa seseorang yang palsu di dalam pendakwaannya dengan mengatakan bahwa ia telah menerima wahyu, padahal dusta, maka ia pasti akan mendapatkan azab dari Allah SWT dan Allah SWT tidak akan membiarkannya sampai 23 tahun dari mula pendakwaan dirinya, seperti tertulis dalam buku Syarah Aqaid Nasfie” halaman 100.

“Bagi seorang muftari (orang yang berdusta terhadap Allah) maka Allah Swt akan memberi tempo 23 tahun.”

Seperti itu juga Allamah Abdul Asir telah menuliskan dalam buku berjudul Nibrasb egini:

“Telah ada beberapa orang pendusta yang mengaku dirinya menjadi nabi, seperti Musailamah Kazab Jamani, Aswad, Ansi, dan Sajahul Kahinah, maka sebagiannya terbunuh dan sebagian lainnya lagi bertaubat.” (Nibras, halaman 444)

Pendek kata, perkara kedustaan dalam hal kenabian tidak akan dapat bertahan lama, melainkan masanya hanya sebentar saja. Seperti itu, tertulis pula dalam Tafsir Bahrul Muhithjuz 8, hal 329:

“Perkataan walau taqawwala ‘alaina itu menurut Zamakhsyari ialah, “Jika ia mendakwakan sesuatu dari Kami (Allah) padahal Allah tidak pernah mengatakan sesuatu apa pun kepadanya, maka niscaya ia akan Kami bunuh.”

Disini kita harus tahu, orang-orang yang mengaku-ngaku menerima wahyu yang manakah yang akan dibinasakan oleh Allah SWT ?

Disini ada 4 syaratnya:

Ke.1. Ia mengaku-ngaku telah menerima wahyu dengan sengaja, padahal ia tidak menerima wahyu.
Ke 2. Pengaku-ngaku itu orang yang percaya kepada adanya Tuhan.
Ke3. Wahyu yang didakwakannya ada lafaznya yang dikatakannya itu datang dari Allah SWT
Ke 4. Ia menyiarkan penda’waannya itu kepada khalayak ramai. Di dalam Tafsir Kabir karangan Fakhrudin Razi, juz 8 hal. 291, juga ada sebuah keterangan begini:

“Hal ini dibicarakan dengan jalan perbandingan berupa tindakan raja-raja terhadap orang yang membohong. Orang yang semacam ini oleh mereka (raja-raja) selanjutnya pasti mereka itu tidak akan diberi tempo, melainkan akan segera dipotong lehernya.”

Kemudian Tafsir Kabir itu memberi keterangan yang panjang tentang hal ini dan pada pada akhirnya menyatakan:

“Hal ini (membunuh tukang bohong itu) wajib bagi Allah di dalam hukum-Nya (lihat QS. Thaha 20:62), supaya orang jangan keliru membedakan antara orang yang benar dengan pendusta.”

Lagi menurut Tafsirnya “Ruhul Bayan” ayat walau taqawwala ‘alaina itu begini maksudnya:

“Di dalam ayat “walau taqawwala” ada suatu peringatan kepada hukum, bahwa jika sekiranya Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu yang datang dari dirinya sendiri, atau menambahi, atau mengurangi suatu huruf atas sesuatu yang diwahyukan kepada beliau, niscaya Allah akan memberi siksa atasnya, sedangkan Rasulullah Saw itu seorang yang sangat mulia di sisi Allah Ta’ala. Lalu apa pendapat engkau jika hal ini dilakukan oleh orang lain?”

Dan lagi tersebut dalam “Tafsir Chazin” hal 240 begini:

“Berkata Abu Qilabah, “Ayat ini demi Allah, merupakan hukuman bagi tiap muftari (pengada-ada dusta terhadap Allah) sampai Hari Kiamat, bahwa Allah akan menghinakannya.”

Dan dalam juz itu juga hal 132, tentang ayat (QS. Ash-Shaf,61:7):

Yang ditafsirkan sebagai berikut:

“Para ulama telah mengatakan, bahwa ayat ini menjadi hukum bagi tiap-tiap orang yang berbohong terhdap Allah Ta’ala di dalam zaman itu dan sesudahnya, sebab alasan yang khusus tidak dapat melemahkan akan hukum yang umum.”

Dari semua tafsir-tafsir ini kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang, sekarang, dahulu, atau di hari yang akan datang, yang mengaku-aku menerima wahyu menjadi nabi, padahal ia berdusta, maka pasti Allah akan menyiksa dan menghinakan ia di dunia ini juga. Itulah sebabnya maka para ulama Islam menetapkan, bahwa tiap–tiap orang muftari (pendusta terhadap Allah) tidak akan dapat hidup lebih lama dari 23 tahun, terhitung sejak hari ia menda’wakan dirinya sebagai nabi sebagaimana tersebut dalam kitab Nibras halaman 444. Begitu pula Imam Ibnu Qoyyum menulis di dalam Zaadul Ma’ad hal 500 pada juz 1 nya begini:

“Kami tidak menyangkal bahwa memang banyak di antara pendusta-pendusta itu telah berdiri dan timbul juga kekuatannya, akan tetapi usahanya itu tidak sampai sempurna dan hidupnya tidak lama, maka utusan-utusannya dan para pengikutnya sendiri berbalik melawan dan mereka sendiri menghapuskan ajarannya, membongkar sampai ke akar-akarnya. Inilah hukum Tuhan untukhamba-hamba-Nya, sejak berdiri dunia sampai habisnya dunia dengan seisinya kelak.”

Demikian juga telah menulis Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi di dalam Futuhati Makiyahjuz I hal. 369, begini:

“Bahwa orang yang sifatnya suka berkata dusta, lama-lama ia dapat berdusta atas nama Allah. Maka Allah Swt mengancam orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah dengan menyiksa dan memotong urat lehernya, seperti firman-Nya: “Walau taqawwala alaina…… dan seterusnya”. Dan ini adalah satu hukum yang berlaku bagi siapa pun juga yang mengada-adakan dusta atas nama Allah.”

Sekarang dapatlah difahami, bahwa ayat-ayat ini adalah suatu hukum yang semata-mata ditujukan kepada setiap orang yang mendakwakan dirinya telah menerima wahyu dari Allah SWT padahal ia berdusta, untuk selama-lamanya. Allah SWT sendiri berfirman sesudah ayat ini: “Wainnahu latadzkiratul lilmuttaqin”, yakni “ini adalah satu peringatan bagi tiap-tiap orang muttaqi”. Tetapi banyak orang yang tidak tahu tafsir Alquran dengan sebenar-benarnya. Kebanyakan dari mereka itu hanya mengetahui arti Alquran saja. Orang-orang ini menyebutkan bahwa ayat ini (“Walau taqawwala alaina… dan seterusnya”) hanya untuk Nabi Muhammad Rasulullah SAW saja. Padahal sebagaimana saya sudah terangkan tadi dengan ayat-ayat lain, dengan Hadis dan dengan tafsir-tafsir, segala umat Islam sepakat mengatakan bahwa ayat ini adalah hukum yang umum bagi semua orang. Untuk meneguhkan keterangannya, bahwa ayat ini teruntuk bagi diri Nabi Muhammad Rasulullah SAW sendiri saja, oleh mereka telah dikemukakan dalil begini:

“Apakah kamu tidak tahu berapa juta lebih banyak jumlah orang-orang Yahudi, Nasara, Majusi, Wasmi, Budha dan lain-lain, dibandingkan dengan jumlah orang Islam di muka bumi sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, dan mereka itu tidak diputuskan oleh Allah Swt tali jantung mereka masing-masing dan mereka hidup senang di dunia, padahal mereka itu terus-menerus mengada-adakan sesuatu yang tidak datang dariAllah, mendustakan Alquran, tidak percaya kepada Allah, dan tidak percaya kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW.”

Itulah dalil yang dikemukakan oleh mereka. Apakah dalil ini dapat menolak keterangan saya tadi itu? Di dalam ayat ini ada lafaz “taqawwala” yang menunjukkan bahwa untuk hal ini harus ada 4 syarat, sebagaimana yang saya sudah kemukakan di atas tadi. Syarat-syarat yang 4 macam ini tidak ada pada orang-orang Yahudi, Majusi atau Nasara itu, karena mereka itu tidak berkata bahwa apa-apa yang mereka kerjakan ialah perintah yang mereka dapati dengan perantaraan wahyu dari Allah SWT. Oleh sebab itu nyata, bahwa dalil ini tidak dapat dipakai sebagai alasan, dan jika ada seorang dari mereka itu memberanikan dirinya mengatakan apa-apa yang dikerjakannya itu adalah wahyu yang diterimanya dari Allah SWT dan kemudian wahyu itu disiarkannya kepada khalayak umum, maka tidak boleh tidak, ia akan hancur binasa. Kalau tidak percaya, silahkan tunjukkan kepada mereka, supaya mereka mencoba-coba berdusta, menda’wakan diri telah menerima wahyu dari Allah Swt, kemudian kita akan lihat, apa yang akan terjadi atas dirinya. Keterangan ini sesuai dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an, seperti tersebut di dalam surah Thoha, 20:62:

“Berkata Musa kepada mereka: “Celaka kamu, janganlah mengada-adakan dusta terhadap Allah, sebab nanti Dia akan membinasakan kamu dengan suatu azab. Dan sesungguhnya orang yang mengada-adakan dusta itu akan gagal.” (QS. Thaha,20:62)

Selanjutnya di dalam Alquran surah Yunus, 10:69 tersebut:

“Katakanlah, sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah itu tidak akan sukses.” (QS Yunus,10:70)

Dan lagi dalam surah Hud, 11:35, tersebut :

“Katakanlah, jika aku telah mengada-adakannya (wahyu Al-Qur’an), maka akulah yang akan menanggung segala dosaku itu, dan aku terlepas dari dosa yang kamu perbuat.” (QS Huds,11:36)

Dan lagi dalam Al-Quran surah Al-A’raf, 7:153 tersebut:

“Sesungguhnya orang-orang yang telah menjadikan anak sapi sebagai sembahan, maka kemurkaan dari Tuhan dan kehinaan di dalam kehidupan dunia akan menimpa mereka. Dan demikianlah kami membalas orang-orang yang suka mengada-adakan kedustaan.” (QS Al-A’raf, 7:153)

Dan dalam Al-Quran surah Al-Jin, 72:23 tersebut:

“Katakanlah, (jika sekiranya aku telah mengada-adakan kedustaan), sesungguhnya tidak akan pernah ada seorang pun yang dapat melindungi aku dari azab Allah, dan sekali-kali tidak akan mendapat tempat berlindung selain Dia.” (QS Al Jin, 72:23)

Dari dalil-dalil ini kita ketahui, bahwa tidak seorang pun dapat mengangkat dirinya menjadi seseorang nabi, kalau ada juga maka pasti Allah SWT akan menimpakan azab kepadanya. Oleh karena itu orang yang mengatakan “Mirza Ghulam Ahmad itu nabi made in England” atau sebagainya, itu semata-mata terbit dari kejahilan dan rasa kebencian belaka. Di dalam QS. Al-A’raf,7:38, AllahSwt berfirman:

“Maka siapakah yang terlebih aniaya dari orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah, atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya? Mereka ini akan memperoleh bagiannya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kitab.”

Dan kemudian Dia berfirman:

“Katakanlah, jika aku telah mengada-adakannya (wahyu Alquran), maka akulah yang akan menanggung segala dosaku itu, dan aku terlepas dari dosa yang kamu perbuat.” (QS Huds,11:36)

Demikian juga Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS telah menulis dalam bukunya berjudul Arbain no 3 hal 15, yang begini maksudnya:

“Kalau ada yang dapat menunjukkan satu orang saja, yang menda’wakan dirinya menjadi nabi, atau ma’mur minallah (ia mendapat perintah dari Allah), kemudian orang itu mengemukakan (mengumumkan) wahyu-wahyu-nya kepada orang banyak (umum), padahal ia berdusta, artinya ia iftiraatas nama Allah, dan orang itu sampai dapat umur 23 tahun dari sejak pendakwaannya, maka saya akan beri hadiah padanya uang 500 Rupee banyaknya, sedang cara pendakwaannya itu harus sesuai dengan hukum Alquran seperti tersebut di muka tadi”.

Adakah seseorang yang dapat menunjukkan contohnya? Sampai sekarang belum ada seorang pun yang dapat menunjukkan, bahwa orang yang muftari (yang mengada-adakan dusta terhadap Allah) berumur panjang. Ketahuilah pembaca yang terhormat, bahwa usia Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS lebih dari 23 tahun, bahkan sampai 34 tahun, terhitung sejak pendakwaan sampai wafatnya.

Sekarang kita hendaknya memperhatikan pula, bagaimana perjanjian-perjanjian Allah SWT terhadap orang-orang yang benar dalam pendakwaannya, yakni yang semua wahyu yang diterimanya itu haq dan betul-betul berasal dari Allah SWT.

Pertama,

“Sesungguhnya Kami pasti akan menolong para rasul Kami dan orang-orang yang beriman, di dalam kehidupan dunia ini, dan pada Hari ketika para saksi-saksi akan berdiri.” (QS Al Mu’min, 40:52)

Kedua,

Dan sesungguhnya janji Kami telah disampaikan kepada hamba-hamba Kami yang diutus sebagai rasul, bahwa sesungguhnya mereka akan diberi pertolongan, dan sungguh laskar Kami yang akan menang.” (QS Ash-Shaffat,37:172-174)

Ketiga,

“Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti akan menang.” (QS Al-Mujadalah, 58:22.)

Keempat,

“Maka sesungguhnya jama’ah Allah itu pasti akan menang.” (QS Al-Ma-idah, 5:57)

 

Sumber:

Buku Kebenaran Al Masih Akhir Zaman Cetakan ke 2 Th 2017 Hal 97 s.d. 108

No Responses

Tinggalkan Balasan