Kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud AS Dalam Perspektif Al Kitab

Kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud AS Dalam Perspektif Al Kitab

Masroor Library – Dua ribu tahun yang lalu, Gamaliel –seorang cendekiawan Yahudi yang terkenal sangat fleksibel– ketika memaknai suatu “kebenaran” memperlihatkan sikapnya. Guru Paulus itu telah bersikap moderat: membiarkan “kebenaran” itu berjalan apa adanya. Menurutnya, bila memang itu suatu kebenaran yang berasal dari Tuhan, biarkan saja secara alami ia menemukan jalannya.

Sebab, suatu kebenaran itu bagaimanapun dihalang-halanginya, ia akan mencapai kemenangan dengan gemilang. Nah, konsekuensinya, justru mereka yang menghalangi itulah yang pada akhirnya akan berhadapan dengan murka Tuhan. Sebab, selain orang yang mengaku Utusan Tuhan itu membawa kabar suka, juga peringatan dan hukuman atas ketidaktaatan.

Hampir empat ribu tahun sebelumnya, perilaku moderat ini juga tercatat dalam sejarah kehidupan Nabi Musa AS dan diabadikan dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Dalam Surah Al-Mu’min alias Ghafir ayat 30, ALLAH Ta’ala menampilkan contoh suatu sikap anggota keluarga Fir’aun (בית הפראוה) yang beriman kepada Nabi Musa AS ketika Fir’aun akan membunuh Nabi Musa AS yang mengaku sebagai Utusan Tuhan:

“Dan berkata seorang laki-laki yang beriman dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya, “Apakah kamu akan membunuh seseorang karena ia mengatakan, “Tuhanku ialah Allah”, padahal ia telah datang kepadamu dengan tanda-tanda yang nyata dari Tuhanmu? Sekiranya ia seorang pendusta, maka bagi dialah dosa kedustaannya, tetapi jika ia benar, maka sebagian dari apa yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada siapa yang melampaui batas dan pendusta ulung.”

Menurut ayat tersebut, sangat sederhana ukurannya untuk mengenali kebenaran seseorang yang mendakwakan diri sebagai nabi. Biarkan seseorang yang mendakwa sebagai Utusan Tuhan itu melaksanakan karya kenabiannya. Bila ia berdusta, tentu saja kedustaannya akan kembali kepada dirinya. Namun, bila ia benar –dan masyarakat sudah terlebih dulu menolak dan menentangnya– maka konsekuensi hukuman yang telah dijanjikannya pasti akan menimpa mereka.

Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV rha. ketika menjelaskan ayat tersebut bersabda, “Yang dimaksud dengan mukmin laki-laki dalam ayat ini adalah orang-orang yang dekat dengan Fir’aun dan para pemimpin besar bawahannya. Seperti Asiyah, mereka juga beriman kepada Nabi Musa AS tetapi mereka menyembunyikan imannya itu. Ini adalah salah satu cara yang akurat untuk mengenal para Nabi Tuhan yang benar. Ini juga merupakan petunjuk dan nasehat abadi bagi bangsa-bangsa dimana dibangkitkan para nabi.”

Definisi Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru kadang-kadang dipakai istilah “Kitab Suci” dalam arti: tulisan-tulisan kudus yang telah dikumpulkan, jadi = Perjanjian Lama. Juga dipakai: “Taurat (Musa) dan kitab-kitab para nabi” atau “Alkitab” (mis. Mat. 5:17; Luk. 24:27, 44).

Di Indonesia, Alkitab alias Bible merupakan keseluruhan kitab yang berjumlah 66 buah (yang diimani oleh Protestan) atau 72 buah (diimani oleh Katolik). Pembagiannya adalah: Perjanjian Lama sebanyak 39 kitab dan Perjanjian Baru sejumlah 27 kitab (Protestan). Sedangkan untuk Katolik, jumlah kitab-kitab dalam Perjanjian Lama ada 45 buah ditambah Perjanjian Baru sebanyak 27 buah.

Selain jumlahnya yang berbeda, dari segi istilah penyebutan juga ada perbedaan. Bila Katolik mengenal istilah “Deuterokanonika” (Kanon Kedua) maka Protestan lebih umum menyebutnya dengan Tulisan-tulisan Apokrif alias “Pseudo-Epigrafa”. Misalnya, Kitab Makabe, Barukh, Tobit, Yudit dan Esther. Keseluruhan tulisan tersebut disusun dalam jangka waktu yang panjang melebihi 1000 tahun dan dalam beberapa bahasa: Ibrani, Arami dan Yunani.

Kebenaran Dalam Perjanjian Lama

Masalah kebenaran atau “Nabi yang Benar” dalam Perjanjian Lama menjadi salah satu pembahasan yang cukup penting. Istilah Nabi yang Benar dan “Nabi Palsu” terdapat dalam beberapa kitab. Bukan hanya satu-dua penyebutan Nabi Palsu melainkan sampai ratusan atau kelompok.

Terkadang, Nabi Benar dibunuh oleh kelompok Nabi Palsu. Dalam kitab 1 Raja-raja banyak diceritakan terkait perseteruan antara Nabi Sejati dengan Nabi Palsu ini. Dikatakan juga, bahwa Izebel berhasil menyelamatkan 100 orang Nabi Benar dari kematian dan menempatkan mereka dalam goa (1Raj.18:4).

Dalam kitab Yeremia, banyak sekali ditemukan kemurkaan Tuhan kepada nabi-nabi palsu. Standar kepalsuan seorang nabi itu juga cukup sederhana. Bila ia –yang mengaku sebagai nabi itu– mengatakan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Tuhan, maka itulah ukuran kepalsuannya (Yer. 5:31; 14:14; 20:6; 23:25-26; 27:15).

Contoh terbaik mengenai kebenaran seorang nabi yang terang-benderang di depan mata kita adalah Nabi Musa. Bahkan, Tuhan sendiri yang menyatakan, bahwa Musa adalah “manusia pilihannya” alias “Tuhan sendiri yang memilihnya”. Sehingga meskipun mengalami banyak penentangan, akhirnya Musa meraih kemenangan demi kemenangan.

Dalam kitab Bilangan 10:6-10 dikatakan:

“Lalu berfirmanlah Ia: “Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi. Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku. Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa TUHAN. Mengapakah kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa?”

Sebab itu bangkitlah murka TUHAN terhadap mereka, lalu pergilah Ia.”

Kebenaran Dalam Perjanjian Baru

Terkait dengan “kebenaran”, Pilatus, sebagai orang yang memegang peranan penting dalam mengadili Yesus juga bertanya kepada Yesus, “Apakah Kebenaran itu?” Dalam Injil Yohanes 18:38a-38b, dikatakan:

Pilatus, sebagai Gubernur Romawi atas Yudea, Samaria dan Idumea tahun 26-36 M, wajar menanyakan hal itu sebab berkali-kali Yesus mengemukakan tentang “kebenaran”. “Apakah Kebenaran itu?” tanya Pikatus. “τι εστιν αληθεια?” (ti estin aletheia), tanya dia.

Meskipun kalimatnya pendek, ini mengandung makna yang sangat dalam. Dalam bahasa Yunani, tiga kata itu diawali dengan kalimat tanya “τι” (ti) yang merupakan Interrogative Pronoun Nominative Neuter Singular, yang berarti “Apakah”. Lalu kata “εστιν” (estin) yang merupakan Verb Present Indicative Active 3rd Person Singular, artinya “Adalah” atau “Itu”. Sedangkan, kata “αληθεια” (aletheia) merupakan Noun Nominative Feminine Singular yang artinya “Kebenaran”.

Berkali-kali Yesus menekankan pentingnya mencari kebenaran. Sehingga dalam khotbah di atas bukit, Yesus memberikan motivasi bagi yang sudah menemukan kebenaran. “Berbahagialah mereka yang dianiaya karena kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat. 5:10). Sedangkan bagi yang masih mencari kebenaran, Yesus juga mengatakan, “Berbahagialah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” (Mat. 5:6).

Terkait dirinya sendiri, Yesus juga menegaskan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6)

Yesus juga mewanti-wanti para murid agar tidak percaya begitu saja dengan orang-orang yang mengaku-aku sebagai Nabi atau Mesias. Tetapi, “dari buahnyalah kalian akan mengenal mereka ….” (Mat. 7:16; Mrk. 4:1-10; Luk. 6:44). Artinya, segala pendakwaan kenabian harus diuji. Dan, barometernya sebenarnya cukup mudah. Lihat saja apa hasil karya pelayanannya: pertobatan dan kelahiran rohani baru. Lihat saja perkembangan kuakitas dan kuantitas murid-muridnya.

P E M B A H A S A N

Untuk mengenali kebenaran seorang Utusan Tuhan, sedikitnya ada 14 kriteria yang bisa dijadikan sebagai barometer. Dari 14 kriteria tersebut, bisa dikerucutkan lagi menjadi hanya tujuh.

Ke tujuh kriteria tersebut adalah mengenai: (i) nabi sejati tidak akan terbunuh, (ii) kesucian seorang nabi, (iii) kemakbulan doa, (iv) mukjizat dan pertolongan Tuhan, (v) waktu dan lokasi kedatangannya, (vi) kondisi kedatangannya dan (vii) keberhasilan dan perkembangannya.

Dalil Pertama : Nabi Sejati Tidak akan Terbunuh

Kriteria ini menegaskan, bahwa seseorang yang mendakwakan diri berasal dari Tuhan, tentulah ia akan dilindungi oleh Tuhan. Meskipun dalam Perjanjian Lama terdapat banyak kisah yang justru berkebalikan dengan kriteria ini, namun kita masih memakluminya. Misalnya, dalam kisah-kisah Perjanjian Lama, disebutkan ada nabi-nabi yang dibunuh. Begitu juga dalam Perjanjian Baru, ada kisah mengenai pembunuhan Nabi Yohanes alias Yahya AS. Bila dikaji lebih lanjut, sebenarnya itu adalah bahasa kiasan alias metafora.

Dikatakan metafora adalah karena dalam bahasa Alkitab, terkadang istilah atau kata “kematian” sendiri memiliki arti bukan yang sebenarnya alias kiasan. Terkadang, untuk orang-orang yang sedang dalam kesulitan dan kesusahan hebat juga dikatakan telah mengalami kematian. Paulus, yang dianggap sebagai Rasul dari Yesus, sering menggunakan istilah kematian dalam konteks seperti itu. Oleh sebab itu, perlu juga didalami dari segi gramatika bahasanya, terutama bahasa Yunani.

Terkait Kriteria Pertama, dalam kitab Ulangan 18:20 dinyatakan:

“Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama Allah lain, nabi itu harus mati.”

Bagi nabi pendusta atau mereka yang berdusta mengaku sebagai nabi, Tuhan sendiri telah menetapkan “Nabi itu harus mati”. Tentu saja ini kalimat umum, sebab siapapun akan mengalami kematian. Namun dalam konteks kriteria ini, maksudnya adalah “Terbunuh/Dibunuh”. Jelasnya, seseorang yang mendakwakan diri sebagai seorang Nabi yang benar, ia tidak akan terbunuh atau dibunuh oleh para penentangnya.

Oleh sebab itu, kita bisa melihat nats lainnya dalam Perjanjian Baru, bagaimana nabi-nabi palsu terbunuh dan pengikutnya tercerai-berai. Dalam kitab Kisah Para Rasul padal 5 nats 36-37 dikisahkan:

“Sebab dahulu telah muncul si Teudas, yang mengaku dirinya seorang istimewa dan ia mempunyai kira-kira empat ratus orang pengikut; tetapi ia dibunuh dan cerai-berailah seluruh pengikutnya dan lenyap. Sesudah dia, pada waktu pendaftaran penduduk, muncullah si Yudas, seorang Galilea. Ia menyeret banyak orang dalam pemberontakannya, tetapi ia juga tewas dan cerai-berailah seluruh pengikutnya.”

Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama-sama menyatakan, bahwa hukuman bagi seorang nabi palsu adalah “terbunuh/dibunuh”. Hal ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab lainnya semisal kitab Yeremia 14:14-16, kitab Ulangan 13:5 dan kitab Yehezkiel 13:9-13.

Bandingkan dengan kehidupan Nabi Muhammad saw dan Hadhrat Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Mereka berdua telah selamat hingga akhir hayatnya dari terbunuh/dibunuh meskipun penentangan begitu sangat kerasnya. Keduanya, bahkan bisa hijrah dan membina suatu komunitas (Jemaat) yang solid dan berkualitas.

Dalil Kedua : Kesucian Seorang Nabi

Kriteria Kedua adalah terkait dengan kualitas personal dari orang yang mendakwakan diri sebagai nabi tersebut. Musa dan Yesus telah menjadi contoh, bagaimana kehidupan mereka berdua dapat dilihat sebagai “kitab yang terbuka” oleh umat pada masanya. Orang-orang yang menentang pun mengakui, selain perbuatan baik yang Musa dan Yesus lakukan sebenarnya tidak ada alasan lainnya untuk menentang keduanya, kecuali masalah pendakwaan kenabian (Yoh. 10:33).

Dalam Perjanjian Baru, kitab Yohanes pasal 8 nats 46, Yesus menantang umatnya yang masih belum beriman kepadanya:

“Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?

Hingga waktu yang sangat panjang, tidak ada satupun para penentang Yesus yang dapat membuktikan perbuatan “dosa” yang pernah Yesus lakukan sebelun pendakwaannya sebagai Utusan Tuhan. Bahkan, karena saking tidak adanya, para penentang itu kemudian membuat kisah-kisah bohong dan berniat menjebak Yesus supaya ia dianggap telah melanggar hukum Taurat dan itu artinya telah berbuat dosa. Namun, berkat perlindungan Tuhan, Yesus pun selamat dari jebakan mereka.

Terkait dengan hal ini, Hadhrat Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah bersabda:

Artinya, “Siapakah di antara kalian yang dapat menunjukkan setitik saja sesuatu noda/perbuatan tidak benar sepanjang hayatku?”

Ini sesuai dengan barometer kebenaran yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan firman ALLAH Ta’ala dalam Kitab Suci Al-Qur’an ketika menceritakan tentang Nabi Yusuf AS:

“Katakanlah, jika Allah menghendaki yang demikian, tentu tidak akan kubacakan ini kepadamu dan tidak pula Dia akan memberitahukannya kepada kamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu dalam masa yang panjang sebelum ini; tidakkah kamu mempergunakan akal?” (Surah Yunus 17).

Terkait dengan ayat ini, Mln. Malik Ghulam Farid, M.A. memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Ayat ini mengandung batu ujian yang amat jitu untuk menguji kebenaran seseorang yang mengaku dirinya seorang nabi. Bila kehidupan seorang nabi sebelum dakwa kenabiannya menampakkan kejujuran dan ketulusan hati yang bertaraf luar biasa tingginya, dan di antara masa itu dengan dakwa kenabiannya tiada masa-masa yang dapat memberikan kesan, bahwa beliau telah jatuh dari keutamaan akhlak yang tinggi derajatnya itu, maka dakwa kenabiannya harus diterima sebagai dakwa orang yang tinggi akhlaknya, orang jujur dan benar.

Tentu saja seseorang yang terbiasa kepada suatu sikap atau tingkah laku tertentu disebabkan adat kebiasaan atau tabiatnya, akan memerlukan waktu yang lama untuk mengadakan perubahan besar dalam dirinya untuk menjadi orang baik atau orang buruk.

Maka bagaimana mungkin RasuluLlah saw tiba-tiba dapat berubah menjadi seorang penipu, padahal sepanjang kehidupab beliau sebelum dakwa kenabian, beliau adalah seorang yang tiada taranya dalam hal kejujuran dan kelurusannya?”

Dalil Ketiga : Kemakbulan Doa

Doa bagi seorang yang beriman merupakan suatu senjata. Bahkan, dalam dirasah-Islamiyah, doa adalah sumsumnya ibadah. Menurut Perjanjian Lama, selain darah, sumsum itu sendiri merupakan “nyawa” dari jasad manusia. Oleh sebab itu, seseorang yang dianggap terkutuk, belum dinamakan disalib selama tulang-tulangnya tidak dipatahkan dan sumsumnya tidak dikeluarkan (Kamus Lisan al-‘Arab).

Para nabi bersitumpu pada kekuatan doa. Perjanjian Lama mengisahkan bagaimana Nabi Ibrahim (Abraham), Ishak dan nabi lainnya berdoa. Bahkan, Nabi Musa AS berdoa sepanjang malam ketika menghadapi suatu masalah. Begitu juga Perjanjian Baru menceritakan karena saking masygul-nya, Yesus naik ke atas suatu bukit dan berdoa disana sepanjang malam. Doa Yesus pasti dikabul Tuhan agar diselamatkan dari “Cawan Kematian”. (Mat. 26).

Dalam Perjanjian Baru, kitab Yakobus pasal 5 nats 15-17 dinyatakan:

“Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan.”

Dalam Perjanjian Baru, kitab Yohanes pasal 9 nats 31 juga dikatakan:

“Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya.”

Dalil Keempat : Mukjizat Seorang Nabi

Kriteria Keempat adalah terkait mukjizat. Fungsi dari suatu mukjizat adalah bersifat “melemahkan lawan/penentang dari seorang nabi”. Tuhan telah menganugerahi mukjizat dengan tujuan untuk menjaga hamba terkasihnya tersebut dari gangguan para penentangnya (lih. Makalah Penulis lainnya, “KENABIAN YESUS DALAM TIMBANGAN“).

Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kita dapati banyak sekali nabi yang diberi mukjizat ini. Selain Nabi Musa dan Yesus, Abraham, Elisa, Elia dan yang lainnya juga memiliki mukjizat. Namun, mukjizat yang diceritakan oleh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terkadang seperti dongengan atau mitos.

Jenis mukjizat yang ditampilkan sebenarnya bisa dipahami dengan mudah. Setiap mukjizat itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada masanya dan tidak seperti permainan sulap. Sebab, yang menjadi sasaran mukjizat adalah hati dan bukannya kesenangan semata. Ketika hati mereka menjadi “tegar tengkuk” barulah mukjizat berupa hukuman diturunkan.

Dalam kitab Yohanes pasal 3 nats 2, dikisahkan terkait Nikodemus –seorang yang kemudian menjadi murid Yesus namun menyembunyikan keimanannya karena sebagai seorang tokoh masyarakat ia masih khawatir dengan kedudukannya–, bahwa:

“Ia datang pada waktu malam kepada Yesus dan berkata: “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.”

Dalam kitab Kisah Para Rasul pasal 2 nats 22 juga ditulis dengan jelas bahwa Yesus dikaruniai mukjizat:

“Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu.”

Lalu, dalam kitab Yohanes pasal 9 nats 16 dikemukakan:

“Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: “Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat.” Sebagian pula berkata: “Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?” Maka timbullah pertentangan di antara mereka.”

Bandingkan dengan Hadhrat Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa mukjizat, baik dalam bentuk kalam maupun tanda samawi telah turun kepada beliau:

اور میرے مقابلہ سے خواہ اعجاز کلام میں اور خواہ آسمانی نشانوں میں تمام لوگوں کا عاجز آجانا اور میری تئید میں خدا تعالی کی لاکھوں پیشگوئیوں کا پوری ہونا یہ تمام نشان اور علامات اور قرائن ایک خدا ترس کے لئے میرے قبول کرنے کے لئے کافی ہیں – (تذکرۃ الشھادتین ص 38).

اور جن نشانوں نے اِس حکم پر گواہی دینی تھی – وہ نشان ظہور میں آچکے ہیے اور اب بھی سلسلہ نشانوں کا شروع ہے – آسمان نشان ظاہر کرتا ہے – زمین نشان ظاہر ہی ہے اور مبارک وہ جنکی آنکھیں اب بند نہ رہیں – (ضرورۃ الامام ص22).

 

Dalil Kelima : Waktu Kedatangannya Sudah DinubuatkanDidahului Gerhana Matahari dan Bulan

Kriteria Kelima adalah terkait ciri dari segi waktu atau keperluan zaman. Waktu ini sangat menentukan, sebab terkadang pendakwaan seorang Utusan Tuhan ada masanya. Istilah dirasah-Islamiyyah-nya adalah “Daur Ribuan”. Ternyata istilah ini juga kita dapatkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Dalam Perjanjian Lama, kitab Daniel pasal 12 nats 11-12 dituliskan:

וּמֵעֵת הוּסַר הַתָּמִיד וְלָתֵת שִׁקּוּץ שֹׁמֵם יָמִים אֶלֶף מָאתַיִם וְתִשְׁעִים: {יב} אַשְׁרֵי הַמְחַכֶּה וְיַגִּיעַ לְיָמִים אֶלֶף שְׁלֹשׁ מֵאוֹת שְׁלֹשִׁים וַחֲמִשָּׁה:

“Banyak orang akan disucikan dan dimurnikan dan diuji, tetapi orang-orang fasik akan berlaku fasik; tidak seorangpun dari orang fasik itu akan memahaminya, tetapi orang-orang bijaksana akan memahaminya. Sejak dihentikan korban sehari-hari dan ditegakkan dewa-dewa kekejian yang membinasakan itu ada seribu dua ratus dan sembilan puluh hari. Berbahagialah orang yang tetap menanti-nanti dan mencapai seribu tiga ratus tiga puluh lima hari.”

Karena perhitungan Ibrani juga menganut rumus “Tabel Jumlah” alias “Jadwal al-Jumaal” (جَدْوَال الْجُمَال) yang menghitung 1 (satu) hari dengan seribu tahun seperti Kitab Suci Al-Qur’an, maka sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah tahun 1290. Dan, ini bukanlah merupakan satu kebetulan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah diutus oleh Tuhan bertepatan dengan 1290 Hijriah atau 1869 M. Yaitu ketika untuk pertama kali beliau menerima wahyu (بادشاہ تیرے کپڑوں سے برکت ڈھوندیںگے).

Adalah mengherankan, karena dalam Alkitab bahasa Urdu, ketika menyebutkan 1290 hari menggunakan kata “din” (دن) sedangkan untuk menyebut 1335 hari digunakan kata “roz” (روز). Ternyata ini juga terkait dengan gerhana matahari dan bulan (Mat. 24:29) yang terjadi pada tahun 1335 Hijriah atau 1894 Masehi.

Terkait hal ini, Hadhrat Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah menuliskan dalam kitab Haqiqatul Wahyi sebagai berikut:

یہ عجیب امر ہے اور میں اس کو خدا تعالی کا ایک نشان سمجھتاہوں کہ ٹھیک ۱۲۹۰ ھ میں خدا تعالی کی طرف سے یہ عجز شرف مکالمہ مخاطبہ پاچکا تھا – (حقیقۃ الوحی ص ۱۹۹).

Dalil Keenam : Lokasi Kemunculannya Sudah Dikabarkan

Kriteria Keenam adalah mengenai tempat kemunculannya. Bila dalam kriteria sebelumnya disebutkan mengenai hal lainnya, maka disini sudah spesifik. Sebab, meski secara waktu dan ciri lain disebutkan, bila lokasi kemunculannya tidak dikenali, orang dapat saja meragukannya.

Menurut Perjanjian Baru, orang-orang Yahudi dulu juga meragukan tempat kemunculan Mesias. Karena Mesias adalah keturunan Daud, tentu wajar mereka mengira Mesia itu akan muncul dari “Kota Daud” yaitu Betlehem, di Yerusalem. Namun, mereka kecele karena ternyata Sang Mesias justru muncul di Nazareth, di Galilea. (Untuk lebih jelas, silakan baca Makalah Penulis, “YESUS DI MATA PARA ULAMA YAHUDI“).

Dalam Injil Matius pasal 24 nats 27 diterangkan bahwa “Anak Manusia” atau Mesias akan datang “dari sebelah Timur”:

لأَنَّهُ كَمَا أَنَّ الْبَرْقَ يَخْرُجُ مِنَ الْمَشَارِقِ وَيَظْهَرُ إِلَى الْمَغَارِبِ هَكَذَا يَكُونُ أَيْضاً مَجِيءُ ابْنِ الإِنْسَانِ

“Sebab sama seperti kilat memancar dari sebelah timur dan melontarkan cahayanya sampai ke barat, demikian pulalah kelak kedatangan Anak Manusia.”

Mengenai hal ini, Pendiri Jemaat Ahmadiyah menyatakan:

خدا نے محض اپنے فضل سے نہ میرے کسی ہنر سے مجھے چن لیا – میں گمنام تھا – مجھے شہرت دی – اسقدر جلدی شہرت دی کہ بجلی ایک طرف سے دوسری طرف اپنی چمکار ظاہر کرتی ہے – (حقیقۃ الوحی ص ۲۳۴).

Dalil Ketujuh : Kemenangan Seorang Nabi

Kriteria Ketujuh adalah kriteria terakhir yaitu “Kemenangan”. Menurut teori narasi Prof. Vladimir Propp, bahwa sebenarnya hanya ada empat saja fungsi narasi suatu kisah atau dongeng: kepindahan, berjuang, penandaan dan kemenangan (Untuk lebih jelasnya, silakan telaah Makalah Penulis, “PENCOBAAN DI PADANG GURUN”).

Fungsi Kepindahan (Move), adalah suatu keniscayaan yang dilakukan tokoh-tokoh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bahkan, Nabi Ibrahim (Abraham) dan Yakub (yang kemudian disebut Israil) juga Nabi Musa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Fungsi ini biasanya diikuti dengan fungsi berikutnya, yaitu Berjuang/Bertempur (Struggle) untuk bisa eksis atau mempertahankan diri. Bila telah berhasil mengalahkan lawannya, maka akan diberi “Tanda” (Mark) dan dinyatakan “Menang” (Winner).

Dalam Perjanjian Baru, kitab Yohanes pasal 16 nats 33 disebutkan:

قَدْ كَلَّمْتُكُمْ بِهَذَا لِيَكُونَ لَكُمْ فِيَّ سلاَمٌ. فِي الْعَالَمِ سَيَكُونُ لَكُمْ ضِيقٌ وَلَكِنْ ثِقُوا: أَنَا قَدْ غَلَبْتُ الْعَالَمَ».

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.”

Begitu juga dalam kitab Yohanes pasal 12 nats 19, dikatakan:

فَقَالَ الْفَرِّيسِيُّونَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: «انْظُرُوا! إِنَّكُمْ لاَ تَنْفَعُونَ شَيْئاً! هُوَذَا الْعَالَمُ قَدْ ذَهَبَ وَرَاءَهُ!

“Maka kata orang-orang Farisi seorang kepada yang lain: “Kamu lihat sendiri, bahwa kamu sama sekali tidak berhasil, lihatlah, seluruh dunia datang mengikuti Dia.”

Seorang Nabi yang benar akan selalu unggul atas penentangnya. Kitab Suci Al-Qur’an sendiri telah menetapkan standar kemenangan yaitu bahwa para Utusan Tuhan pasti akan meraih kemenangan (Qs. Al-Mujadalah: 23)

Oleh sebab itu, Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memberikan khabar gembira, bahwa berbondong-bondongnya manusia beriman kepada beliau dikarenakan tiga faktor. Pertama, “Ayah”, yaitu dalil-dalil naqly (kitab suci dan sabda nabi) dan ‘aqly (logika). Kedua, dari “Wajah” yaitu kualitas kepribadian beliau sendiri (orang bisa membedakan, mana “wajah orang benar” dan mana “wajah pendusta”). Dan terakhir, Ketiga adalah “Jumlah” alias setelah mereka melihat dan membandingkan dari waktu ke waktu pengikutnya semakin bertambah.

Setelah menerangkan berbagai caci-maki, kesusahan dan gangguan yang dilakukan oleh para penentang, Pendiri Jemaat Ahmadiyah bersabda untuk menguatkan murid-murid beliau:

پھر یاد رکھو کہ عنقریب خدا تمہیں دکھلاویگا کہ اُس کا ہاتھ غالب ہے – (اربعین ضمیمہ تخفہ گولڑویّہ ص ۱۷).

 

Kesimpulan

Dari tujuh kriteria yang telah dibahas di atas, nyata bahwa secara umum dan dengan sangat sederhana, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Ahmad telah melalui satu persatu batu uji yang ditentukan.

1. Kriteria Pertama, sebagaimana Nabi Musa as, Hadhrat Ahmad juga telah melewati hidup beliau dengan damai dan meninggal secara wajar alias tidak terbunuh/dibunuh.

2. Kriteria Kedua, sebagaimana Nabi Musa dan Yesus, kesucian Hadhrat Ahmad pun diakui, baik oleh kawan maupun lawan pada masanya.

3. Kriteria Ketiga, sebagaimana para nabi lainnya, Hadhrat Ahmad pun dikaruniai kemakbulan doa.

4. Kriteria Keempat, sebagaimana para nabi lainnya, Pendiri Jemaat Ahmadiyah diberikan mukjizat yang hingga kini masih bisa kita saksikan.

5. Kriteria Kelima, waktu kedatangan Hadhrat Ahmad pun sudah dinubuatkan oleh nabi sebelumnya. Bahkan, Nabi Daniel dengan sangat akurat menyebut angka tahun kedatangannya.

6. Kriteria Keenam, terkait lokasi atau asal kemunculannya pun dengan persis dikemukakan oleh Yesus. Ia akan muncul dari sebelah Timur.
7. Kriteria Ketujuh, perkembangan jemaatnya dari waktu ke waktu juga sangat mencengangkan. Dari suatu kampung terpencil yang tidak dikenal dan belum ada dalam peta dunia saat itu, kini sudah tersebar di lebih dari 200 negara dengan jumlah pengikut sekitar 200-250 juta jiwa.

Saran-saran

Untuk para pencari kebenaran, agar direnungkan kembali, bahwa meskipun batu uji itu misalnya hanya satu buah –dan bukannya tujuh seperti dalam makalah ini– sebenarnya sama saja bobotnya. Kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran itu selalu berkelindan dan sambung-menyambung.

Oleh sebab itu, cara yang paling aman untuk memahami suatu kebenaran adalah dengan memohon langsung kebenaran itu kepada Sang Empunya, yaitu ALLAH Ta’ala. Caranya, bila orang Islam, bisa melalui ibadah yang telah disunnahkan oleh RasuluLlah saw (Tahajud dan Istikharah) atau bila dari penganut agama lain disesuaikan dengan tata cara di agamanya tersebut.

Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan
Dosen Ilmu Perbandingan Agama & Bahasa Ibrani
Jamiah Ahmadiyah Indonesia, Bogor

No Responses

Tinggalkan Balasan