Darsul Quran No.155 Tanggal 2 Maret 1995 oleh Hadhrat Khalifatul Masih IV, Mirza Tahir Ahmad RH | Bagian 1

Darsul Quran No.155 Tanggal 2 Maret 1995 oleh Hadhrat Khalifatul Masih IV, Mirza Tahir Ahmad RH | Bagian 1

Mengenai kata Al-Ahad (Yang Unik), telah dijelaskan berkali-kali sebelumnya bahwa bersama dengan kata Al-Waahid, kata Al-Ahad juga digunakan dalam bahasa Arab. Terjemahan Al-Ahad yang sebenarnya adalah sesuatu yang Akela dalam bahasa Urdu yang artinya Yang Sendiri atau Mandiri. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) juga menerjemahkan ini sebagai Akela dalam Tafsir-e-Saghir-nya.

Namun, satu kesulitan yang muncul dengan terjemahan ini adalah ketika kita mengucapkan Akela dalam bahasa Urdu, itu mengandung istilah ditindas atau memerlukan; seperti kalimat, “Orang malang itu telah ditinggalkan sendirian” atau “Dia sendirian dan tidak ada yang membantunya.” Jadi, kata ini tidak tepat digunakan dalam pujian, ada rasa tidak berdaya dalam istilah kata ini.

Oleh karena itu, “Dia adalah Satu dan tidak ada yang seperti Dia”; ini lebih jelas dan saya pribadi lebih cenderung pada terjemahan ini sehingga karena pandangan negatif dapat menjadi pemahaman dengan terjemahan Akela atau sendiri, itulah sebabnya untuk menyelamatkan diri kita dari itu, daripada menerjemahkannya sebagai Akela, jika memang demikian diterjemahkan dengan cara ini “Dia adalah Satu dan tidak ada yang seperti Dia” maka ini akan lebih akurat dan bebas dari istilah negatif yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Kata kedua adalah al-Al-Waahid. Al-Waahid mengacu pada sesuatu dengan kemungkinan sesuatu yang lain mengikutinya. Misalnya, jika kita mengacu pada nomor satu, secara alamiah kita membayangkan gagasan tentang nomor dua, lalu nomor 3, nomor 4, nomor 5, dan seterusnya. Jadi, ini adalah gagasan yang membuka pintu ke kemungkinan potensi penambahan, namun tidak menutupnya begitu saja.

Namun, kata Al-Ahad sedemikian rupa sehingga menyangkal gagasan ada lebih dari satu, bahkan tidak memungkinkan seseorang untuk memikirkan gagasan ada lebih dari satu. Al-Ahad mengacu pada sesuatu yang satu, sendiri, semua miliknya dan tidak ada yang seperti dia. Jadi, dalam hal ini pandangan yang disampaikan Imam ar-Razi cukup menarik. Dia menyatakan al-Al-Waahid dapat mencakup istilah al-Al-Ahad tapi Al-Ahad tidak dapat mencakup istilah Al-Waahid. Apa artinya ini? Artinya jika kita merujuk pada sesuatu sebagai Al-Ahad, berarti itu adalah satu-satunya dan oleh karena itu, istilah ‘satu-satunya’ dapat dimasukkan dalam kata Al-Ahad. Namun jika kita menyebut sesuatu sebagai Al-Waahid, karena ada kemungkinan ada dua, istilah Al-Ahad tidak dapat dimasukkan ke dalam kata Al-Waahid. Al-Ahad akan selalu terpisah. Jadi, istilah Al-Ahad sangat luas dan dapat mengandung makna Al-Waahid juga, namun istilah Al-Ahad tidak dapat dimasukkan ke dalam kata Al-Waahid. Dia (Imam ar-Razi) telah menyajikan 3 atau 4 alasan untuk ini, saya akan menjelaskannya nanti jika perlu tetapi saya mencoba menjelaskan secara singkat hal-hal ini kepada Anda melalui rujukan yang saya ingat dengan ingatan.

Nah, pertanyaan yang muncul adalah jika Tuhan itu Al-Ahad (Yang Satu-satunya) dan tidak ada kemungkinan ada Tuhan kedua setelah Dia, artinya Dia sendirian dalam jenis-Nya, lalu apa perlunya kata Al-Waahid (Yang Satu)? Mengapa al-Quran merasa perlu menyebut kata Al-Waahid? Di tempat lain dalam Al-Qur’an, Tuhan menyatakan, قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا

No Responses

Tinggalkan Balasan