Aqidah Dan Keyakinan Ahmadiyah

Aqidah Dan Keyakinan Ahmadiyah

Allah SWT berfirman:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu pergi berjihad di Jalan Allah, maka selidikilah sebaik-baiknya dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepadamu, “Engkau bukan mukmin.”

Kamu hendak mencari harta kehidupan di dunia, padahal di sisi Allah banyak harta kekayaan. Demikianlah keadaanmu dahulu, lalu Allah memberi karunia kepadamu; oleh sebab itu selidikilah. Sesungguhnya, Allah itu Maha Mengetahui mengenai apa-apa yang kamu kerjakan.
(QS. An-Nisa’: Ayat 95)

Berkenaan dengan aqidah dan keyakinan dari Jamaah Muslim Ahmadiyyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS bersabda:

“Ketahuilah bahwa Islam itu agamaku, tauhid itu keyakinanku”. (Miraati Kamaalaatil-Islam, hal. 388).

Beliau bersabda:

Peneyelidikan yang teliti menyatakan, bahwa terkecuali Islam semua agama-agama lain dalam dunia ini mengandung salah satu kesalahan di dalamnya. Sebenarnya agama-agama itu bukanlah palsu dari asal mulanya, hanya setelah agama Islam datang ke dunia ini, maka Allah SWT tidak memelihara lagi agama-agama itu. Ibarat sebuah kebun yang tidak lagi disirami dan tidak dipelihara oleh tukang kebunnya, sehingga lambat laun akan menumbuhkan berbagai macam semak belukar di dalamnya dan pohon-pohonnya akan berubah menjadi kering dan mati. Dan timbullah bermacam-macam tumbuh-tumbuhan yang liar dan berduri. Begitulah perumpamaan kerohanian yang menjadi pokok agama terdahulu yang telah hilang, lenyap dan yang tinggal hanya perkataan kosong belaka. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan begitu terhadap Islam. Dia menghendaki bahwa kebun (Islam) itu harus tetap subur dan menghijau untuk selama-lamanya”. (Islam, pidato Hz. Pidato dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, tanggal 2 Nov’ 1904 di kota Sialkot, Pakistan)

Beliau bersabda:

“Inti dari kepercayaan kami adalah: Laa ilaaha Illallahu, Muhammad-ur-Rasulullah (Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah) Kepercayaan kami inilah yang menjadi tempat bergantung dalam hidup ini, dan yang padanya, dengan rahmat dan karunia Allah kami berpegang teguh sampai akhir hayat kami.” (Mirza Ghulam Ahmad, Izalah Auham, 1891, h.137).

Beliau bersabda:

Dan kami beri’tiqad bahwa Nabi kita Muhammad SAW lebih utama daripada semua Rasul dan beliau berpangkat Khaataman-Nabyyin dan lebih mulia daripada semua manusia yang akan datang nanti dan yang sudah berlalu. (Miratu Kamalati Islam, hal. 387).

Imam Nawawi dalam Raudhah At-Tolibin menyatakan:ا

Imam Syafi’i berkata, “Apabila seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat, maka ia menjadi muslim.”

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS berkata:

“Ketahuilah wahai saudaraku, kami beriman kepada Allah, sebagai Tuhan dan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan kami beriman bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khaatamun-Nabiyyiin, kami beriman kepada Al-Quran bahwa itu dari Allah Yang Pengasih dan kami tidak menerima apa saja yang menyalahi Al-Furqan (Al-Quran) dan keterangan-keterangan, dan hukum-hukumnya, kisah-kisahnya meskipun perkara itu timbul dari akal manusia atau dari riwayat-riwayat yang dinamakan Hadis oleh para Ahli Hadis atau dari kata-kata sahabat dan tabi’in.” (Tuhfah Al-Baghdad, hal. 23).

Jangan Tinggalkan Kitab Suci Al Quran

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS berkata:

Nasehat yang yang amat penting lagi ialah agar saudara jangan menjadikan Qur’an Suci sebagai Kitab yang ditinggalkan, karena di dalam Qur’an Suci terletak kehidupan saudara. Barangsiapa menghormati Qur’an Suci, ia akan dihormati di langit.

Barangsiapa menjunjung Qur’an Suci di atas yang lain, ia akan diberi keistimewaan di langit. Tak ada Kitab yang teramat penting bagi manusia di seluruh muka bumi ini selain Qur’an Suci, dan tak ada Rasul yang lebih mulia dariapda Nabi Suci Muhammad saw. Maka dari itu berjuanglah agar saudara menikmati kecintaan Nabi Suci Muhammad saw.

Janganlah saudara mencintai orang lain melebihi cinta saudara terhadap Nabi Suci Muhammad saw sehingga saudara akan masuk sorga sebagai orang yang diselamatkan.

Hendaklah diingat bahwa keselamatan itu bukan hal yang terjadi sesudah mati. Keselamatan sejati itu harus diusahakan di dunia ini. Siapakah yang akan diselamatkan? Ialah orang yang memelihara iman yang kuat bahwa Allah Yang Maha Hidup itu kenyataan dan bahwa Nabi Muhammad saw. itu syafî’ (yang mensyafa’ati) antara Allah dan manusia, dan bahwa di bawah kolong langit tak ada orang yang derajatnya menyamai beliau saw, dan tak ada Kitab yang menyamai Qur’an Suci. Dan bahwa tak ada orang lain selain Nabi Suci yang Allah menghendaki agar terus hidup sampai akhir zaman. (Buku Ajaranku)

Ada satu pelajaran dari kisah di bawah ini:

Usamah bin Zaidradhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah dari sukuJuhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelakui dari golongan mereka.

Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan: laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahandiri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh.

Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bertanya padaku:

“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnyaorang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.” Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takutdari senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu saja.”

Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. LihatSyarh Shahih Muslim, 2: 90-91.

Dari Abu ‘Abdillah Thariq bin Asy-yam, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada yang berhak disembah selain Allah) dan mengingkari setiap yang diibadahi selain Allah, maka harta serta darahnya haram. Sedangkan hisabnya adalah terserah kepada Allah.” (HR. Muslim no. 23)

Diriwayatkan dari Abu Dzar r.a dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekafiran, kecuali akan kembali kepada yang menuduh, jika yang dituduh tadi tidak demikian keadaannya”.(HR. Bukhari dan Muslim)

“Barang siapa memanggil atau menyebut seseorang sebagai kafir atau musuh Allah padahal tidak demikian, maka ucapannya itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya (menuduhnya) itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa yang shalat seperti shalatnya kami, dan menghadapkan wajahnya ke kiblat kami (Kabah), dan makan makanan yang kami sembelih, maka dia itu adalah muslim”. (HR. Bukhari, kitabus shalat jld.1, h.56)

Kesimpulan

Hukumilah atau nilailah seseorang dari lahiriyahnya. Karena kita tak bisa menelusuri dalam hatinya. Kita bisa menuduh orang tidak ikhlas atau riya’, karena seperti itu butuh penglihatan dalam hati. Menerawang hati seseorang sungguh amat sulit dilakukan.

Imam Nawawi rahimahullah membawakan bab dalam Riyadhus Sholihin, mengatakan: “Menjalankan hukum-hukum terhadap manusia menurut lahiriyahnya. Sedangkan keadaan hati mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.”

Penulis: Syamsul Ulum

 

No Responses

Tinggalkan Balasan